Minggu, 30 Agustus 2009

Peta

Suatu hari Marcopolo – lelaki penjelajah itu – menangis. Air matanya tumpah di tanah. Lelaki perkasa itu menitikkan air mata karena tak ada lagi tempat yang bisa ia jelajahi. Tak ada lagi peta yang bisa direngkuhi.

”Kenapa kau menangis, Marcopolo?” tanya seseorang penduduk.
”Karena tak ada lagi tempat yang bisa aku jelajahi. Tidak ada lagi peta menantang untuk menginjakkan kaki,” ujarnya.
”Begitukah? Lihatlah ke bawah, tempat air matamu tumpah. Air mata itu adalah peta yang bisa kau jelajah. Air mata anak-anak, air mata perempuan, air mata lelaki. Air mata itulah kehidupan yang tidak pernah habis kita jelajahi,” ujar penduduk itu lagi.

Garin Nugroho mendongengkan itu untuk saya – dan kita, tadi malam. Ya Garin mendongeng.

Ia melanjutkan. Di Lamalera, ada tradisi bertukar hasil gunung dan hasil laut. Lurah menjadi wasitnya. Begitu peluit ditiup, orang gunung dan laut saling membertukarkan hasil mereka. Ini upacara tentang ekonomi orang gunung dan pantai. Pertukaran itu tanpa saling mematikan. Garam telah menghidupkan gunung, gunug telah memberikan sayuran bagi nelayan.

”Pertukaranlah! Jangan jadikan kematian dalam ekonomi, ” kata sang filsuf. Dibalik garam, dibalik padi: ada kehidupan, ada puisi ada harapan, ada keluarga. Itu yang kita lalui. Tapi kini kita tak jadi filsuf ekonomi. Kita jadi makelar, yang paling mengerti menukar kehidupan dengan kematian, dalam sistem ekonomi yang saling mematikan. Menukar apel Malang dengan apel Zwitzerland. Garam lokal dengan garam impor.

”Mata air dan sungai adalah kehidupan kita.”

Mata air itu adalah kehidupan kita, garam kita dan gula kita. Sepotong apel lokal, penuh dengan cita-cita dan harapan. Termasuk gabah. Gabah adalah baju terakhir para petani. Jangan buang baju terakhir kaum tani. Gabah mereka jual dengan harapan. Kalau gegabah menghargai gabah, maka sama artinya dengan membuang baju terakhir para petani.

Jadikan mata air kita punya sungai. Kalau tidak punya sungai maka air mata ini akan menjadi badai. Sungai harus kita bangun lagi.

Lalu Franky Sahilatua pun mendendangkan mata air tanpa sungai. Dan dongeng selesai.

Dongeng. Begitu dasyat tutur ini mempengaruhi imaji saya ketika kanak-kanak. Membuat saya mampu membayangkan putri kerajaan, pengemis, pemulung, kelaparan, badai dan hujan. Juga merasakan kasih sayang induk ayam kepada anak-anaknya.

Sampai kini pun, saya suka terkekeh sendiri ketika eyang Bhumy - anak saya – mendongeng kancil dan buaya, tentang robot atau pun pesawat. Lalu tawa eyangnya pun akan meledak, kalau ada tanya dari Bhumy di luar akal dewasa eyangnya.

Dongeng ayah menjelang tidur dulu, ternyata kini jadi pelita yang tak pernah padam di pikiran saya. Berimajinasi tentang apa saja. Dan ia tetap menyala.

Lalu, anak pun jadi dewasa, tanpa sempat kita mendongeng untuknya. Karena sibuk kerja.
Sudahkah ada dongeng malam ini untuk cinta kita?


Emmy Kuswandari, Agustus 2009


Dalam perjalanan Jakarta - Yogya

Selasa, 25 Agustus 2009

Titik Nol


Kamu menimbang berat badanmu pagi itu. Memastikan jarumnya mulai di angka nol. Bergeser sedikit saja, kamu akan menggerutu, karena timbangan tak tepat lagi katamu. Kau begitu setia dengan timbanganmu. Tepatnya dengan angka nol, sebelum kau injakkan kaki di sana.

Padahal, tak penting bagiku berapa berat badanmu. Kau yang selalu risau. Buatku, menawan itu tampak dari sorot matamu, ketika kau berucap ”Aku sayang kamu,” setiap menitnya. Mungkin melebihi anjuran minum obat dari dokter yang cukup tiga kali sehari. Menarik itu dari tutur dan sapaan hangatmu. Karena kamu bicara dari kedalaman hatimu.

Tapi, mengapa titik nol itu begitu penting bagimu?
Dan ternyata aku suka jawabanmu. ”Karena ia adalah awal,” katamu waktu itu. ”Seperti keluarga. Seperti rumah kita. Bagiku, di sini adalah awal dari segalanya.

Ya, di rumah ini memang awal bagiku dan kamu. Tempat aku menggali kembali energi terbaikku. Tempat lelah tertawarkan. Tempat penat tersembuhkan. Kamu memang cerewet dengan segala aturan rumah tangga. Barang ini harus di sini, barang itu tak boleh bergeser. Kadang aku merasa aturan itu mencekikku. Riuh di rumah kadang membuatku rindu kesendirianku.

Tapi ternyata, justru di kesendirian saat ini, aku sangat merindukan keriuhan itu. Di jidatku tak boleh kutuliskan ”Jangan ganggu aku”, karena memang kamu atau kalian di rumah itu bukan gangguan.

Tak seberapa penting angka setelah 1, 2, 3 dan seterusnya. Karena dari nol lah semua bermula. Terima kasih cinta, sudah mengingatkanku titik awal itu. Bukankah pantai akan kelihatan indah karena memang ada riak dan gelombang.


Saat-saat menuju ke fitri, Agustus 2009

Jumat, 21 Agustus 2009

Simbok


“Mbak, maaf kita tidak jadi ketemu. Aku mau pulang, ketemu simbokku,” suara di ujung telepon itu menjawab konfirmasiku untuk janji bertemu sore itu. Aku mengiyakan dan berjanji untuk ketemu usai akhir pekan nanti.

Kembali ke simbok, buat temanku adalah kembali kekehangatan. Kembali menjadi diri sendiri dan kembali menjadi yang selalu menakjudkan di mata sang ibu.

Seorang teman yang lain dengan bangga memajang foto mamaknya di fesbuk. Tulisnya: ”Ini mamak mertuaku. Datang dari ujung Kalimantan. Aku bangga memiliki mamak seperti dia. Sangat anggun.” Ia begitu bangga dengan mamak mertuanya. Mamak yang jauh dari polesan metropolis, tapi begitu anggun dan sophisticated, menurutnya.

Simbok, emak, mamak – panggilan jadul, tapi eksotis bagiku.

Jujur, sekali atau sesekali dalam paruh umur kita, pasti pernah merasa sangat terganggu dengan perhatian ibu. Tidak saya, tak juga Anda. Tapi kita. Ketidaknyamanan komunikasi dengan ibu, entah ibu kandung, ibu sambung atau ibu mertua.

Kebawelan ibu kadang membuat kita risi dan rasanya ingin pergi. Tak leluasa menentukan keputusan, tak bebas membuat pilihan. Terlebih dengan ibu yang powerfull, rasanya keputusan kita tidak ada artinya.

Saya sadar, komunikasi tidak selamanya mudah, meski itu dengan seorang ibu.

”kenapa ingin pulang ke simbok, Mbak?” tanyaku.
”Hanya dia yang selalu membuat aku menjadi seseorang yang istimewa. Apapun yang aku ceritakan, simbok akan menanggapi seolah-olah aku yang paling hebat di dunia. Respon simbok selalu sama, dari dulu,” ujar teman saya.

”Sampai saat ini, simbok selalu begitu,” ujarnya. ”Padahal aku tahu, yang aku lakukan hanya hal biasa saja, mungkin malah tidak ada artinya,” tambahnya.

Kawan lain menimpali: ”Hubunganku dengan ibu justru lebih baik ketika ibu sudah tiada.
Ibu memang sudah pergi. Tapi dia meninggalkan sejarah yang kami jalani hingga saat ini. Sebuah jangkar yang tidak dapat diambil oleh siapapun, lanjutnya.

Sementara buat aku: Ibu adalah perpustakaan pertamaku.


Saat malam panjang sendirian di Jakarta. Agustus 2009

Minggu, 16 Agustus 2009

Hening


Izinkah aku menulis tentang kesendirian. Mungkin ini adalah saat yang dibenci, juga oleh diriku. Tapi bisa jadi, ini adalah rasa yang paling dicari, oleh mereka yang hidupnya selalu bergemuruh.

Saat sepi menyergap diriku, aku menerimanya dengan terbuka. Aku sadar dengan pilihanku, pilihan untuk merasakan kesendirian. Meski kadang hidupku begitu bergemuruh, dan menolaki kesunyian.

Sendiri, buatku bukan jeda. Ia adalah keheningan panjang yang sangat nyaman. Mungkin ia seperti dinihari, ketika kau dan aku tak bisa memejamkan mata. Ketika kita mendaraskan doa, atau masuk dalam hening di denting waktu. Saat aku melupakan kesendirian, atau justru masukinya.

Izinkan saya menulis tentang gelap. Dinihari adalah saat ketika gelap, yang berhimpun sejak senja, akan berakhir. Tapi di dinihari pula gelap seperti tak hendak pergi. Justru saat paling gelap dalam seluruh hari adalah menjelang terang.” Agaknya pada diniharilah gelap adalah sebuah ajektif bukan tentang kekurangan, melainkan tentang kelebihan: gelap adalah sesuatu yang bersama kita sebelum cahaya; ia juga sesuatu yang akan bersama kita sesudah cahaya.

Ah, aku ngelantur ya.
Aku cuma ingin bilang, itulah nikmat. Menggelisahkan, tetapi membuatku sangat nyaman. Meski kadang dalam otak kecilku memberontaki, tetapi aku sadar aku justru menawan diriku di sini.

Dalam hening dinihari, aku mempunyai banyak waktu untuk bicara dengan diriku sendiri. Dan bicara denganmu, kalau kau merasakan itu.

Kamis, 13 Agustus 2009

Harapan


Panggung di Jakarta tidak pernah habis cerita. Panggung di sini adalah mall atau pusat perbelanjaan. Dalam gemerlap mandi cahaya, saya bisa menjadi siapa saja.

Di mall pula, sihir dilakukan. Rasionalitas dipojokjauhkan. Masih jelas tergambar ketika sale 70% sandal gambar buaya di Jakarta membuat orang rela antri berjam-jam untuk mendapatkannya. Berjan-jam! Meninggalkan pekerjaaan, meninggalkan anak dan urusan penting lainnya. Makan tidak makan yang penting dapat sandal gambar buaya.

Jadi ingat, dulu saya juga punya dogma yang sama: kalau sale dan tidak beli, rasanya dosa. Kapan lagi kalau bukan sekarang.

Saya belanja, maka saya ada – emo ergo sum. Cocok banget. Aku gitu lho, kalau tidak punya barang bermerk, apa kata dunia. Begitu kata di sudut diri kita.

Belanja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan pokok. Konsumerisme sudah mengubah dari konsumsi yang seperlunya menjadi konsumsi yang mengada-ada.

Motivasi belanja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan dasariah, tetapi sebagai pemenuhan identitas.

Manusia tidak lagi membeli barang dan jasa, tetapi merk. “Di dalam perusahaan kami membuat kosmetik, di dalam toko kami menjual harapan,” ujar Charles Parson, seorang CEO.

Jadi harapan itulah yang diburu. Berharap seperti seleb, berharap menjadi manusia kota kalau kita berhasil membeli merk. Harapan inilah imaji ideal kita. Mall menjual, kita membeli.

Konsumerisme menawarkan kesempatan dan pengalaman. Dan itulah yang kita beli. Tindakan membeli ini yang menimbulkan kepuasan dalam diri kita, tak laki tak perempuan.

Ah, Decartes pasti tertawa kalau melihatnya.


Emmy Kuswandari, Jakarta Agustus 2009

Di sela-sela training CRS Forum.

Timbangan


Sayang,
Aku tahu, kau bangga dipuji atasanmu. Kau pun bahagia karena kenaikan gaji itu. Syukuran kemarin untuk merayakan promosimu. Wah, hebat ya. Dalam karir, makin tinggi, makin besar gaji, makin ok. Melejit. Makin pesat makin baik.

Begitu juga temanmu yang jadi pengusaha atau pedagang. Makin banyak tender, makin girang. Yang jadi pedagang pun begitu. Makin banyak untung, makin senang. Makin laris, makin manis.

Begitu ya dalam pekerjaan.

Lalu, suatu malam kutanya: bagaimana dengan peranmu di keluarga? Apakah kau menginginkan sayap agar terbang lebih tinggi? Kamu diam. Tak menjawab.

Kalau kau terbang, itu artinya kau menjauh. Tak terjangkau. Tak tersentuh. Meski tanpa kau sadari sering begitu. Karena rapat, karena tugas luar kota, kau jadi jauh. Meski kau akan bilang: “Sayang, semua demi kita. Demi keluarga.” Demi pekerjaan, kamu akan bilang begitu.

Aku hanya takut, kami akan lupa bagaimana bentuk senyummu. Bagaimana aroma tubuhmu.

Aku tak ingin kamu terbang makin tinggi untuk peranmu di keluarga. Yang aku ingin: justru makin dalam, makin dalam dan menukik. Di kedalaman hati kami.

Berbagi peran. Berbagi tanggung jawab. Apa kau tahu, kemarin anak kita, mogok tak mau sekolah. Apa kau tahu, celana panjang anakmu sudah jadi ¾? Keberhasilanmu tak kami ukur dengan dengan skala tinggi dan makin tinggi. Tapi justru bagaimana kau makin dalam, masuk dalam relung keluargamu ini.

Aku ingin, kau menikmati peran ini. Tempat kita kembali berenerji. Tempat kita bisa saling menyemai.

Jadi, maukah kau makin dalam menikmati peran ini, cinta?

Emmy Kuswandari, Jakarta Agustus 2009

Selasa, 11 Agustus 2009

Odol


Niatan saya menuliskan hal-hal sederhana berangkat dari keinginan berbagi saja. Tidak ada yang lebih. Makin berbagi, saya makin kaya. Kaya teman, kaya doa, kaya ide.

Lalu ada satu dua yang bilang: “Bu, saya suka tulisannya.” Saya pun manggut-manggut saja. Toh kalau ada rona malu, partner bicara saya tak akan tahu perubahan di muka saya. Biasanya saya akan menawarkan balik agar siapapun yang memberi apresiasi terhadap tulisan itu berbagi hal yang sama. Menuliskan cerita-cerita sederhana di kehidupan mereka.

Jawabnya?
Saya pengen, tapi...
Mau sih, cuma....
Tidak bisa nulis
Tidak ada waktu
Suka bacanya aja
Tidak ada yang bisa dibagi,
Mau share apa ya?
Blank.
Tidak ada ide!

Saya senyum-senyum saja. Kalau diurutkan, bisa lebih panjang lagi alasannya. Yang paling sering adalah tidak ada ide. Padahal, ide itu seperti udara. Ada di mana-mana. Tapi seringkali kita mengabaikannya. Kalau kejepit suasana, baru teriak-teriak: siapa yang jual ide? Dibeli: sebuah ide dengan harga mahal.

Alam raya ini luar biasa. Ide yang tak pernah habis digali. Keindahan yang tak pernah kering dinikmati. Rumah yang tak pernah sepi ditinggali. Sahabat yang setia memberi energi. Anda pasti setuju.

Kalau nunggu ide datang persiapannya: kopi, musik, suasana tenang, punggung yang tak mau tegak, gelisah yang tak mau pergi, rambut yang diacak, mulut yang seperti terkunci. Yang ada: seandainya...seandainya...seandainya. Ah, kayak menunggu godot saja.

Benarkah ide itu jauh dan tersembunyi? Tidak bisa dijangkau dan tak mungkin direngkuh? Tidak bisa hadir, kini dan saat ini?

Aku tidak pernah pelit. Saya yakin kamu juga. Lebih-lebih alam. Alam tidak pelit. Ada cahaya, ada suara, ada tangis, ada buncah tawa, ada aku, kamu dan kita.

Benarkah kita tanpa ide? Buka laptop, ide sudah dipanen. Keluar rumah, ide sudah bermunculan. Ketemu orang, benih-benih ide bersemai. Gendong anak, lahir ide. Sambil masak, ide pun matang.

Tapi seringkali kita sibuk dengan alasan. Dan lupa bahwa otak kita canggih dan sangat pintar. Jadi percaya saja pada kemampuan kita. Ini tidak hanya untuk menulis. Aplikasinya bisa ke: ide masak, ide marketing, ide kerjaan, ide olah raga, ide perkawanan, ide jejaring.

Kata temanku, ide itu gratis. Orang cerdas memetiknya secara gratis. Sekaligus menanam, supaya orang lain kebagian pula. Alam raya menyediakannya secara melimpah. Ide melimpah, tapi kreator sedikit.

Jadi, apakah ide itu muncul secepat kita memencet odol (pasta gigi)? Anda tahu jawabnya. Mari panen ide, berkarya dan nyatakan.


Selamat menuai ide.

Minggu, 09 Agustus 2009

Cermin


Kemarin seorang teman bilang, “Mbak…mbak…fotonya saya pinjam sebentar ya. Untuk contoh di presentasi.” Temanya Who am I. Masih bagus ya tidak untuk contoh: ini dia yang tidak terawat. Hehhehehhehhehe. Sang teman tidak menjelaskan, menggambarkan apa foto di depan cermin itu.

Di foto, saya suka tersenyum. Begitu juga kalau ketemu orang. Hanya perlu sedetik untuk mengubah bentuk bibir manyun menjadi seulas senyum. Satpam gedung yang garang pun, menjadi hangat dan ramah karena senyuman. Office boy yang mendekat takut-takut menjadi percaya diri ketika kita mengembangkan senyuman. Sang anak yang merasa bersalah pun, akan lega ketika ia melihat senyum di wajah orang tuanya. Ternyata, senyum itu kecil, tapi dasyat ya.

Dan saya percaya, dengan senyum, saya juga mendapatkan banyak keajaiban. Bentuknya macam-macam. Ada kemudahan, kesehatan, kekayaan, kebaikan, penyelesaian masalah dan persahabatan. Dengan senyum pula saya mengendalikan dunia. Paling tidak dunia kecil saya. Mendekatkan lebih banyak orang yang meringankan semua langkah saya.

Buat saya, ia juga jembatan dua hati. Hatiku dan kamu. Ah lengkungan itu ternyata meluruskan banyak hal. Indahnya senyum yang ikhlas itu.


Emmy Kuswandari, Agustus 2009

Jumat, 07 Agustus 2009

Tentang Kita


Senang bisa sharing dan mendengar banyak hal tentangmu. Semua ceritamu turut menguatkan aku.

Aku menangis untuk semua rasa sakit yang pernah kau alami. Aku tersenyum untuk kenakalan dan akal cerdasmu. Aku tertegun dengan ketabahanmu.

Jangan lagi lihat ke belakang. Toh karet pensilmu tidak akan bisa menghapus sejarah yang pernah kau lalui. Cukup sekali lalu kau maknai. Kalau yang lalu kau warnai kelam, kini torehkan pulas warna cerah untuk perjalananmu ke depan.

Hidup itu mudah dan indah kalau kita melihatnya dari kacamata keindahan dan kemudahan. Tetapi hidup juga akan menjadi rumit dan njlimet kalau kita memilih meneropongnya dari sisi itu. Sekarang terserah pilihanmu, mana jendela yang akan kau pakai untuk melihat dan menjalani hidup ke depanmu.

Aku tahu, kamu, aku atau kita yang lain pasti punya kerinduan yang tak terungkapkan. Entah lelaki atau perempuan ia berwujud. Kita perlu tangan yang akan menguatkan saat-saat lemah kita, perlu pundak untuk bersandar barang sejenak, atau tatapan mata teduh yang menyemangati. Toh kita tak selamanya bisa tegar dan perkasa. Ketegaran kita kadang rapuh. Keperkasaan kita kadang lantak juga. Sesekali memang perlu kita istirahat sejenak. Mungkin tangan, pundak dan mata itu milik lelaki yang kita rindukan. Barangkali. Meski tak selalu begitu.

Tanyaku sekarang, lelaki seperti apa yang kita inginkan? Mungkin kamu akan bilang, aku lelah mencari lelaki seperti imajiku. Percayai kata hatimu, lelaki apa yang ingin kau dapatkan dalam hidupmu. Bukan karena kataku atau kata yang lain. Semua pendapat itu cuma pembanding. Kamu yang berkuasa atas hidup. Pilihan ada di tanganmu.

Lalu kau tanya lagi hatimu, apakah dia yang datang dalam hidupku nanti akan mengembangkan diriku? Atau membunuh semua potensiku? Kalau dia datang mengajakku untuk berkembang bersama, terimalah tawaran itu. Tetapi kalau kau melihat akan terpasung karenanya, bertanya dan bertanyalah lagi pada dirimu.

Apapun pilihan yang kamu ambil, itu adalah pilihan kesadaran. Karena di situlah sebenarnya letak kemanusiaan kita.

Buatlah skala prioritas. Tentang apapun yang ingin kau lakukan dalam hidupmu. Prioritas pada pekerjaanmu, prioritas untuk kehidupan pribadimu. Ini akan memudahkan kamu mengambil keputusan-keputusan yang tepat. Dan akan menghindarkan diri dari pusaran permasalahan yang tidak perlu.

Satu pesanku, milikilah waktu yang berkualitas untuk dirimu sendiri. Aku tahu betapa sesaknya kamu ketika bilang sangat merindukan dunia kecil, milikmu sendiri. Ketika kau ingin telanjang mematut diri, ketika kau ingin menangis tanpa henti, atau tersenyum sendiri mengenang kebodohanmu, tanpa perlu ragu ada orang lain yang akan memerhatikanmu. Masing-masing dari kita perlu ruang pribadi yang tak bisa diusik siapapun. Milikilah itu. Dunia kecil yang tak akan bisa direbut oleh siapapun. Dunia kecil tempat kita mendapatkan kembali semangat, kemudaan dan keberanian berharap.

Sesekali kita memang perlu menarik diri dari siang yang gaduh dalam kehidupan kita. Aku tahu, tak mudah hidupmu harus berbagi dengan beribu masalah yang harus kau hadapi. Belum lagi teman-teman dekatmu yang mendengungimu dengan cerita mereka. Atau keluarga besarmu yang menuntut kau sempurna. Jangan panik dengan kegaduhan itu. Senyumlah, lalu anggaplah semua masalah itu hanya permainan kecerdasan. Dan yakinlah, pasti akan kau temukan jalan keluarnya. Kau pasti jadi juaranya.

Maaf, kalau aku sudah banyak menyesakimu dengan kata-kata. Jangan pernah ragu berbagi denganku, aku punya hati untuk mendengarkan.


Emmy Kuswandari, Jakarta

Honger is de beste sauce


Sambil menunggu teman memberikan presentasi di perusahaan, iseng-iseng saya coba menulis. Tak elok kan kalau usai manggung lalu saya terlihat terkantuk-kantuk di depan peserta trainer. Jaim dikit dong, hehehhehhehe

Saya adalah seorang penikmat makanan. Buat saya makan adalah kenikmatan dan tidur adalah kemewahan. Kok kayaknya hidup saya hanya untuk makan dan tidur ya prioritasnya. Hehheheh. Tidak begitu sih tepatnya.

Saya paling suka makan bersama teman-teman. Saat makan adalah saat buat saya dan teman-teman membicarakan apa saja dengan suasana santai. Penuh tawa dan canda. Apapun makanannya, rasanya pasti enak.

Tetapi ada seorang teman yang selalu menilai kwetiau yang kami nikmati tidak enak, daging lada hitam yang dipesan alot, nasinya kurang pulen, melonnya tidak manis dan lain sebagainya. Capek deh kalau mendengar dia menilai makanan yang kami nikmati bersama. Tak ada yang lepas dari celaan dan kritikan dia. Saya sih tutup telinga saja. Berkumpul dan makan bersama dengan teman saja sudah merupakan kebahagiaan buat saya. Jadi sebodo deh dia mau komentar seperti apa.

Tetapi kok saya jadi kepikiran ya. Kenapa dia selalu mencela. Padahal habis juga tuh semua yang ada di depan mata. Sering gak sih menemui teman yang seperti ini?

Di meja yang lain kita menikmati kemewahan beragam makanan. Di sudut lain, jangankan kemewahan, sebutir nasi pun masih harus diperjuangankan. Tidak adil banget ya dunia?

Padahal, lapar adalah lauk yang paling nikmat. Honger is de beste sauce, kata orang. Mudah-mudahan nulisnya tidak salah. Menurut Anda?


Selamat menikmati Sabtu.

Emmy Kuswandari, Agustus 2009

Biaya Pernikahan


Senangnya punya bos gaul. Bukan pekerjaan yang ditanya tapi justru cerita-cerita lucu yang membuat kami semua tersenyum dan jidat tidak lagi mengkerut.

Pak Bos saya cerita, dia ditanya tentang berapa besar biaya pernikahan yang harus disediakan oleh anaknya. Jawabnya: “Sungguh aku tidak bisa menghitung berapa biaya pernikahan itu, anakku. Lha wong sampai sekarang saja saya masih terus setor setiap bulannya, belum lunas-lunas.”

”Makan tidak dimakan, saya harus tetap bayar. Tidur di rumah atau tidak, argo jalan terus. Menyentuh tidak menyentuh, jatah bulanan tetap sama, bahkan kadang lebih. Itu yang bisa dihitung. Belum lagi yang nonmateri. Diminta mendorong gerobak belanja, memijat dan dicurigai. Pulang malam ditanya, pulang cepat dikomentari. Makin langka pemandangan indah setiap pulang kerja.”

“Jadi, anakku, jangan tanya berapa besar biaya pernikahan yang harus kamu siapkan dan kamu bayar. Kalau biaya pesta pernikahan, ayah bisa hitungkan. Sewa gedung, sewa katering, baju pengantin dan mahar, semua bisa dinominalkan dengan cepat,” ujarnya.


“Pondasi tangguh perkawinan direkatkan oleh komitmen. Pilar-pilar penopangnya harus dikuatkan dengan kasih sayang. Semua tidak bisa dihargai dengan uang.”

Emmy Kuswandari

Kamis, 06 Agustus 2009

Fokus


Hari geneee tidak punya Blackberry, ke laut saja deh. Tanpa BB tidak bisa mengupload status facebook, baru ini baru itu. Baru sama selebriti ini dan sok sibuk dengan si anu. Dari urusan domestik sampai futuristik. Biar kentara sok sibuk, makanya status diupload terus.

Ah saya juga tak punya BB. Bahkan sejak 2001 saya memilih tidak punya televisi di Jakarta. Mungkin karena saya tak mampu beli kalee ya. Hehheheh. Selain fungsinya lebih untuk kebutuhan kerja, BB juga untuk gaya kali ya. Tapi yang menarik baik di BB atau di handphone kita ada fasilitas yang seringkali kita abaikan fungsinya yaitu kamera.

Ah jadi ingat anggota DPR dan artis dangdut yang menggunakan kameranya untuk kegiatan ah uh itu. Auk ah gelap mereka ngapain. Bukan pemanfaatan kamera seperti itu yang ingin saya anjurkan.

Tapi dengan kamera tersebut kita belajar memotret objek dengan jarak dekat bahkan sangat dekat. Menarik untuk dicoba sambil joging pagi menggambil gambar-gambar bunga secara makro sampai kelihatan serat-serat dan bintik-bintiknya, atau kumbang sampai tampak bulu-bulu halusnya. Coba deh.

Apa pentingnya sih belajar memotret makro ini? Apa hubungannya dengan penyelesaian masalah di kehidupan kita. Hidup aja sudah susah kok harus belajar motret makro segala?

Teman saya komentar, ” Iya jeng, menarik motret makro. Harus usaha, nahan nafas, pake nunduk-nuduk dan nungging segala,” hehhehhehe.

Belajar Fokus
Sepintas tidak ada yang istimewa. Satu hal yang kita pelajari: belajar fokus. Dalam hidup, kita terbiasa memiliki pilihan yang beragam. Akibatnya kita tidak terlatih untuk fokus. Padahal kalau mau sukses, ya fokus. Apapun impian, tujuan dan outcomenya. Fokus kuncinya. Semakin besar energi yang kita berikan pada impian dan keinginan kita, makin besar kekuatannya.

Bagaimana caranya fokus? Di tempat kerja, orang seliweran, di rumah anak merengek-rengek, kalau malam si doi ngajak yang iya-iya.

Teman saya kasih ide: justru di tempat ramai sangat menarik untuk belajar fokus. Di bingarnya musik atau sesautan orang, kita belajar menghitung mundur. Dari angka 30, 50 atau 100. Mundur lho ya. Coba, sampai angka berapa kita hang, blank dan lupa? Hehhehehh. Bisa-bisa malah tidak bergerak maju. Sederhana kan. Dari 30 ke 29, 28 dan hilang di 23, mulai lagi ingat-ingat di angka mana tadi ya. Kalau mendekati angka 1-2-3-4-5 malah ngebut, ada pula yang justru black out di sini. Hehhehhe. Coba yuk coba.

Hitungan mundur sederhana ini bisa menjadi penanda pola kita menuju outcome. Kalau ada target, semangat di awal, tidak fokus di tengah dan ngebut kalau dah deadline. Atau justru, tidak mantap di awal, mulai kendor di tengah dan semangat menuju tujuan. Padahal, menuju target harusnya konsisten.
"Yakinilah apa yang kamu inginkan, maka alam semesta akan membantu dengan caranya, asal hatimu terbuka," demikian kata penulis spiritualis Paulo Coelho. Tidak ada yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Mulai dari mimpi, dibangun dari kekuatan dan keterbukaan hati serta kebersamaan, akhirnya menuai dengan suka cita. Kuncinya: ya fokus.
Hubungannya dengan memotret? Panggil saya kalau perlu modelnya. Hehhehehhehh.


Emmy Kuswandari, idenya di Malang, diselesaikan di Jakarta. Juli-Agustus 2009

Sakit


Kemarin saya sempat sakit. Akhirnya wonderwomen sakit juga ya. Hehehhehhe. Seharian tidak keluar rumah. Di atas tempat tidur saja. Bangun tidur, ...tidur lagi. Persis seperti lagunya Mbah Surip almarhum. Nikmat senikmat-nikmatnya. Buat saya tidur memang kenikmatan.

Telpon tetap tak henti berdering, begitu juga sms. Tapi yang jelas, internet online terus donk. Hehhehehhehehhe.

Setiap ada yang tanya, bagaimana kabar saya, saya selalu jawab baik-baik saja. Hanya sedang tidak fit. Bukan sakit. Ini penguatan ke diri saya sendiri, bahwa saya akan segera membaik.

Yang pertama saya lakukan: menerima kondisi ketidaknyaman ini. Dan tidak memberontakinya, meski mengecewakan atasan, teman kerja atau partner bisnis. Saya mensyukuri saja kondisi kemarin. Pasti banyak hikmahnya.

Yang saya lakukan diam. Ya hanya diam dan berdialog dengan diri saya sendiri. Meminta maaf ke bagian-bagian tubuh saya karena tidak memperhatikan mereka dengan sungguh-sungguh.

Padahal betis sudah menopang seharian penuh aktivitas rutin saya. Dua minggu traveling dengan berbagai moda transportasi, tentu merontokkan tulang-tulang yang tak lagi muda ini. Bibir dan pita suara pasti letih untuk berbicara sepanjang waktu. Maaf ya aku kurang memperhatikanmu.

Dalam diam, saya mencermati nafas yang keluar masuk. Kadang berat, kadang tersengal, kadang sangat ringan dan nyaman. Sambil menghirup udara, saya membayangkan energi terbaik yang masuk ke dalam diri dan menghembuskan energi negatif. Lama-lama kok jadi enak ya.

Lalu, saya melihat perjalanan beberapa waktu lalu, mungkin kemarin-kemarin saya banyak mikir yang nggak-nggak ya. Lebih banyak negatif daripada positifnya. Lebih banyak hitam daripada putihnya.

Dan hasilnya? Otak kita ternyata sangat pintar ya. Mampu berkordinasi dengan baik ke bagian-bagian tubuh kita. Hari ini saya sudah full speed lagi. Sssssttttttttttttttttttt…..jangan bilang-bilang, sejak kemarin sore pun saya sudah sangat nyaman nongkrong di warung kopi. Hehhehhehehehe. Kalau ada undangan ngopi, ajak saya ya. Saya pasti pesan kopi lokal. Ah….jadi rindu ngopi di Pekan Baru.


Emmy Kuswandari, Jakarta Agustus 2009

Tak Gendong kemana-mana………………


Hai pap and mom,
Apa kabar? Maaf kalau saya lama menghilang dari peredaran. Tapi tenang saja, saya masih di orbit yang sama, berpeluh, berdenyut, berdesah, berurai air mata dan tersenyum. Saya juga masih menembuh jarak ribuan kilo hampir di setiap weekend untuk mengunjungi cinta saya, di kota lain.

Pagi hari ini saya awali dengan senyuman. Hangat. Dan akhirnya meledak dalam tawa bareng Mbah Surip. Ya benar, saya tertawa bersamanya. Dia di layar TV dan saya di kamar hotel. Jreng..jreng..jreng…. Tak gendong kemana-mana, tak gendong kemana-mana. Enak tho, mantep tho.. daripada……

Dalam bayang kita Mbah Surip menggendong gadis cantik yang juga menebar senyum untuknya. Siapa yang tidak mau digendong kemana-mana oleh kekasih hati. Lagu sederhana, sangat sederhana bahkan. Tapi membuat siapapun akan tersenyum mendengarnya. Kalau lebih jeli lagi, banyak status di Facebook yang mengambilnya sebagai kutipan.

Kalau yang digendong gadis jelita, waduh betapa senangnya. Tapi kalau yang kita gendong derita bagaimana? Hussssyyyy.....mosok ngomongnya derita mulu. Tapi bener kan, as a single pap or mom, pasti seringkali menggendong derita ini kemana-mana. Tidak hanya sebagai single pap and mom, sebagai orang tua lengkap pun kita akan mengalaminya.

Misalnya? Mikir mau masukin anak ke sekolah baru saja sudah menjadi beban untuk kita. Anak sakit juga jadi beban. Nah, yang tidak luput menghampiri masing-masing dari kita adalah utang. Entah utang untuk membayar sekolah, untuk membayar biaya rumah sakit atau yang jadi tren pekerja yaitu utang kartu kredit.

Siapa yang tidak menderita menggendong utang kemana-mana. Jadi ingat Tora Sudiro ketika dia menawarkan kartu kredit suatu bank. Nahhhhhhhhhhhhhhhhh mirip begitulah gambarannya kita menggendong utang kemana-mana.Terbungkuk-bungkuk membawa utang dan susah bayarnya. Diri kita seperti itu tidak sih?

Lalu harus bagaimana biar tidak menggendong utang kemana-mana? Ya dibayar! Dananya dari mana? Ya di cari. Enak saja ya saya nulis. Situ punya duit, sini kering kerontang nih sumber dananya. Gaji numpang lewat saja. Gali lubang tutup lubang. Meskipun begitu, sejatinya utang ya harus dibayar.

Prinsip yang harus dipegang, kalau kita tidak membayar utang, maka rezeki kita pun menjadi tersendat. Tidak ada sejarah yang menyatakan, orang bisa kaya dengan ngemplang utang.

Kalau kita percaya law of attaction atau hukum tarik menarik dalam jagad ini, maka utang bisa kita samakan dengan enerji buruk. Kalau kita memperbesar enerji buruk ini maka yang akan berbalik ke kita berlipat-lipat besarnya. Apalagi kalau niatannya sudah tidak ingin membayar utang. Nah, jadi kebayang kan.

Jadi, ambil keputusan untuk segera membayar utang-utang kita. Ambil keputusan adalah kata kuncinya. Karena dengan mengambil keputusan, kita sudah memerintahkan bawah sadar kita untuk menyelesaikan masalah ini sesegera mungkin. Entah dengan bekerja lebih keras, entah dengan menahan diri tidak sering-sering menggesek kartu kredit. Utang kelar, rezeki pun lancar. Jadi, milih digendong Mbah Surip atau menggendong utang? Oalahhhh Mbah Surip....Mbah Surip.


Emmy Kuswandari, 28 Malang 2009

Pengantin Kertas


Hari ini banyak orang bersuka. Kata mereka merayakan cinta. Banyak yang menanti dengan cemas, kira-kira apa ya hadiah dari sang kekasih. Sebingkai cincin indah, sekotak tas yang kemarin mengerling kita di etalasenya atau cukup coklat dan bercinta dengan hangat. Tapi membuat masing-masing sibuk memaknai perayaan ini.

Tapi tidak denganku. Hari ini sebetulnya aku hanya ingin ada sebuah hati yang menemaniku, sepasang telinga yang tak lelah mendengarku, jari-jari yang akan mengusap rambut dan mungkin tetes-tetes air mataku.

Aku kadang kekanak-kanakkan untuk meniadakan tanggal ini di bulan Februari. Berharap tuhan sedang berpesta dan lupa memutar matahari. Tapi, tidak ada yang lebih setia dari mentari, dia datang meski kadang aku berharap berhentilah barang sehari.

Aku hanya rindu punya teman, ya cukup teman, yang akan duduk melewatkan senja hingga pekat menutup sekitar kita, satu hari ini saja. Tapi tak pernah ada. Dan aku hanya menghibur diriku dengan makanan dan minuman. Temanku hanya sebatang lilin. Ah tak tepat pula kusebut sebatang. Ia hanya sumbu yang berenang dalam gelas dengan cairan berwarna di dalamnya. Tapi paling tidak ia nyala, dan mencoba menghangatkan malam dinginku. Tak ada hati, tak ada telinga tak ada tangan. Aku hanya menatapnya, seolah mengajaknya bercerita: ”Hai hari ini hanya kita berdua, tak saling kenal, tetapi aku akan tumpahi kamu dengan sejarah yang ingin kubakar di atas nyalamu. Izinkan aku. Sekali ini saja. Malam ini saja.” Mungkin begitu pintaku pada sumbu yang nyala itu.

Dan selalu begitu yang aku lakukan. Ini sudah tahun kelima. Lima tahun, lima lilin. Cukuplah. Tapi sejarah itu tak pernah selalu habis kubakar di atasnya. Selalu ada sisa yang kubawa pulang untuk aku bakar lagi tahun depan.

Bukan teman , aku bukan sedang bercerita cemburuku pada pasangan muda yang tengah merayakan kasih sayang itu. Mereka pantas merayakannya, untuk nanti bisa bercerita ke anak cucu bagaimana Valentine mereka di zaman purba.

Ini cerita yang aku ambil dari buku untuk anakku:

14 Februari 2004
Aku duduk kaku di kursi tamu kelurahan itu. Tak tahu meski kutebak apa benak pak lurahku itu. Baru sekali ini aku bertemu. Kalau tidak karena rencana pernikahan, mana mungkin aku mau meluangkan waktu.
“Benar data-data ini asli?” tanyanya. Matanya menyelidik, menatap kami, aku dan ayahmu, lekat-lekat.
“Ya, benar. Ada yang salah ya Pak,” tanyaku.
Padahal aku tahu kalau ia ragu-ragu. Mungkin memang tidak meyakinkan dokumen yang dibawa ayahmu.
“Sepertinya bukan komputer, tapi mungkin beda tipe printnya. Bisa jadi saya yang salah. Tapi lebih baik buat surat pernyataan saja, “ ujarnya sambil menujukkan bagian yang ia ragukan.
“Ah, masak sih Pak? Dapatnya seperti itu,” lanjut ayahmu.
Aku tak tahu bagaimana ia mendapatkan semua dokumen persyaratan itu. Bagian dia kuserahkan padanya. Aku mengurus bagianku. Vaksin di puskesmas. Keterangan RT RW.

Aku di Yogya dan ia membuat semua kelengkapannya di Jawa Timur, kota masa kecilnya. Di sini pula, simbah buyutnya masih ada. Jadi aku memang tak tahu, bagaimana ia menyiapkan semua dokumen itu.

“Pernah diajak ke sana? Tiba-tiba saja Pak Lurah menanyakan pertanyaan yang tak kuduga.
“Hemmm, ya. Jawabku tak yakin. Karena memang aku belum pernah ke sana, ke kota masa kecilnya.

Sejak awal kami tak yakin kapan pernikahan bisa dilangsungkan. Usiamu sudah tujuh bulan ketika itu. Ayahmu selalu ragu menikah atau tidak.

***

Dibonceng ibu, aku diantar ke rumah Mas Agus, perias pengantin dari kampung sebelah. Dua kali datang. Sore ia tak di rumah, baru ketemu esok paginya. “Tanggal berapa mbak?” tanyanya gemulai pada ibuku. Kamarnya 1,5 x 2 sumpek dengan baju-baju sewaan. Perabot dandan di tas-tas make up. Ada satu besar dan beberapa yang kecil. Tumpukan album foto teronggok di pintu masuk kamar.

“Minta baju yang besar ya Mas. Tahu sendiri kan keadaannya,” kata ibuku sambil melihat ke arahku.

“Gak papa mbak. Ada yang lain juga seperti ini kemarin ,” balasnya.

“Baju warna biru ya Mas Agus, yang besar,” tambahku. Warna kesukaan ayahmu.

Esoknya, ia pun ke rumah membawakan beberapa ukuran baju, dekor untuk pelaminan. Ah tepatnya bukan pelaminan. Hanya dua sofa dijejer, dengan back drop batik yang dicantelkan di keempat ujung tembok kamar tamu rumah eyangmu.

Tenda di pasang di depan rumah. Kursi di tata. Mungkin tak sampai 200 jumlahnya. Untuk tetangga kanan kiri, supaya bisa bersantap sambil duduk. Kalau di kampung tidak ada standing party. Kalau tidak ada kursi, pasti akan dibilang “Ora wangun”, tidak layak.

Kalau pun bertepatan dengan saat orang lain memperingati kasih sayang, bukan maksud kami memilih tanggal 14 Februari sebagai tanggal pernikahan. Sama sekali tak direncanakan. Karena memang semua dokumen baru selesai sesaat sebelum tanggal ditentukan.

Pak Lurah dan kepala KUA diboyong ke rumah. Ada satu asistennya. Tante Hesti, teman Bunda kerja, bela-belain datang untuk menguatkan Bunda. Beberapa jam sebelum akad dimulai, ia baru datang. Dijemput Om Sigit di Stasiun Tugu.

Bunda didandani Mas Agus. Wah, baju tidak muat. Harus disambung sedikit kain dan dipeniti agar tak lepas. Untung tak kentara. Tetapi tetap saja kehamilan tujuh bulan tidak bisa disembunyikan dari mata. Wajah bunda bulat, karena semakin gemuk.

Kain jarik yang dililitkan ke badan dan distagen, membuat sedikit sesak nafas. Aku hanya menggumam, toh hanya sebentar. Mas Agus tak menunggu sepanjang prosesi. “Masih harus rias yang lain,” ujarnya sambil menyalakan motornya. Lelaki yang kemayu itu melaju dengan perangkat riasnya.

Kalau selama ini bisa kututupi perut besarku dengan daster gombrang, tentu tak bisa di acara ini. Akulah yang menjadi bidadari. Akulah yang akan mereka perhatikan kini. Ah, sudahlah. Aku tak terlalu peduli pandangan orang. Buatku, menyelamatkanmu jauh lebih berarti. Dan pernikahan ini untuk menggenapi.

Orang tua ayah datang. Hanya yang perempuan. Sendirian dari ujung pulau sana. Ditemani tiga saudara jauhnya yang tinggal di Yogya. Kami temui saudara ayahmu ini beberapa hari sebelum pernikahan. Suaminya pelukis, istrinya ibu rumah tangga. Satu anak perempuan. Mereka tidak terlalu campuri pernikahan ini, hidup lama di Yogya membuatnya mencoba maklum dalam diam.

“Ini istrimu bukan?” ujar saudara perempuan.
“Heeemmm. Calon,” kata ayahmu. Ia pun bercerita panjang lebar. Intinya satu: menjadi saksi pernikahan kami. Mereka pun setuju. Nenek dan tiga saudara itu datang dengan kendaraan pinjaman. Kalau mereka resah selama acara, itu karena jam 12.00 mobil pinjaman harus dikembalikan.

Akad baru saja di mulai. Latihan dulu. Penghulu mengajari kami untuk menghafal mana saja yang harus diucapkan. Baru separo jalan, Bunda teringat ada Tante Hesti, yang datang dari jauh untuk menjadi saksi. Ia malah ketiduran di kamar. Mencuci mata dan menukar baju, setelah itu baru keluar kamar.

Seperangkat alat sholat dan sejumlah real yang jadi mas kawinnya. Deg-degan atau bahagia? Entahlah, aku sudah lupa bagaimana perasaanku dulu.




Dan kini teman, lima tahun telah berlalu. Anakku belum pernah lihat foto-foto kami dulu. Belum ia tahu bagaimana rupa ayahnya. Aku mungkin jahat. Tapi aku tidak tahu bagaimana mesti memberi penjelasan. Ini lebih ketidaksiapanku, bukan dia.

Maafku untuk anakku. Bukan maksudku menghadiahi dia neraka di dunia ini. Tapi memang benar dia yang aku perjuangkan untuk hidup. Aku tak peduli kesakitanku. Tak peduli laraku.

Setiap aku mengelus perut bulatku ketika hamil dulu, selalu aku daraskan doa: cinta, kamu kekuatanku. Yang akan membantuku melewati gelap malam dan terik siang. Mengabaikan lapar dan capek fisikku. Aku juga minta untuk tak merasakan sakit waktu melahirkan. Aku tahu, aku tak bakal kuat. Karena aku tahu, tak akan ada tangan yang akan memegangku kuat ketika aku memekik kesakitan. Tak ada tangan yang akan mengusap peluhku yang berjatuhan. Tak akan ada tatapan yang menyemangatiku. Aku sudah cerita ke kamu ya teman, betapa takutnya aku masuk ruang operasi yang hijau gelap itu. Aku tak punya enerji lagi untuk bertanya kemana lelaki yang membuahiku dulu. Apa yang dia lakukan saat ini. Kenapa meninggalkanku. Aku benar-benar tak mau berpikir itu sama sekali. Dan luka itu tetap ada sampai saat ini.

Kalau kamu tanya, lalu lelaki seperti apa yang aku cari kini? Aku tidak akan pernah mencari. Meski anakku sangat rindu membanggakan sosok ayah di mata teman-temannya. Atau bermain bola bersamanya. Memanggulnya di kolam renang. Kadang ya Teman, mataku basah bercampur air kolam renang, ketika melihat dia berteriak-teriak gembira bermain bola atau terpeleset di air kolam.

Kadang aku terharu juga saat mendorong kereta belanja dan dia berkata, ”Bunda, aku yang pilihkan belanja untuk Bunda ya. Bunda tenang saja,” ujar anakku. Lalu tangan kecilnya akan memasukkan barang-barang yang dia kira akan membuatku suka.

Dalam penat dan demam tingginya ia akan tetap setia mengantarkan aku ke stasiun kereta atau ke bandara. Menunggu sampai kereta malamku lepas dari pandangan matanya. ”Bunda, masuk dan duduk di kereta saja, jangan keluar-keluar lagi, nanti ketinggalan dan gak bisa kerja,” begitu ia selalu khawatir kalau aku keluar lagi semenit dua menit untuk mencium dan membaui tubuhnya. Dia belum tahu, aku akan kehilangan bau tubuh itu untuk beberapa minggu ke depan. Bau yang sangat aku rindukan.

Kalau tiba saat kunjunganku ke Yogya, dia akan menjemputku, tak peduli jam berapa pun itu. Dan ya Tuhan, senyumnya saat pertama kali ketemu selalu menjadi senyum yang paling luar biasa untukku. Senyum malu-malu yang akan melelehkan banyak hati perempuan di usia dewasanya nanti. Aku selalu rindu senyum itu.

Teman, maaf sudah banyak membebani kamu dengan ceritaku. Aku hanya sedikit terusik setiap 14 Februari datang. Esok pagi, aku sudah baik-baik saja. Matahari selalu berhasil menghapus jejak kegelisahan malamku, aku percaya itu. Happy valentine untuk kamu. Jaga cinta untuk kehidupanmu. Jangan pernah berpikir untuk memisahkan cinta yang sudah kau miliki kini, karena aku tahu kau sudah mendapat yang terindah.
Ah, ini cerita pengantin kertas itu.

Pap Mam, ada kenangan tidak soal hari perkawinan?


Emmy Kuswandari, Jakarta

Kencan lagi Yuk……


Berapa lama Anda, Pap and Mam, mengurung diri dalam sepi usai perpisahan? Sebulan? Setahun, dua tahun atau lebih dari itu?

Ada waktu memang bagi kita untuk ”berkabung.” Menolak soasialisasi, ngeles alasan macam-macam untuk undangan ngopi atau hang out. Bahkan mungkin hanya titip saja kalau ada acara arisan. Padahal dulu, setiap arisan datang, kita sudah heboh dengan berbagai persiapan. Tidak hadir lagi di club, padahal dulu itu hang out yang menyenangkan untuk recharce energi.

Saya butuh dua tiga tahun untuk menyendiri. Emosional dan suka nangis-nangis India. Menghindari berbagai kontak sosial dan memutus komunikasi dengan banyak teman. Rentang waktu yang membuat saya merasa tidak ada lagi yang indah dalam relationship laki-laki dan perempuan.

Sampai saya merasa, sendiri jauh lebih nyaman. Tak perlu berdebat kalau harus membuat keputusan. Mau ngopi, hayukk sendiri aja, mau baca buku seharian sampai bengkak di mata, tidak ada yang nglarang. Pokoknya bebas merdeka. Saya sampai berprinsip, kalau sendiri lebih happy kenapa harus berdua. Kalau sendiri lebih berkembang, kenapa harus berbagi dengan orang lain.

Sampai pada satu titik, saya merasa kok teman saya hanya buku ya. Kok kawan intim saya hanya koneksi internet ya. Lalu saya perhatikan, handphone saya sudah jarang dan makin jarang berdering. Sampai saya iseng-iseng SMS ke beberapa teman dan menunggu jawabannya dengan amat sangat. Padahal isinya cuma say hi saja. Dulu, HP tak pernah sepi dari SMS dan dering telpon.

Saya baru sadar, saya makin mengunci diri di ruang gelap. Keluar dari komunitas yang selama ini justru menyemangati saya. Benar-benar saya merasa tidak ada teman. Makan sendiri, belanja sendiri. Padahal saya masih ngantor. Teman-teman kantor tetap ada seperti biasanya. Tapi justru saya yang memisahkan diri, pelan-pelan pergi dari mereka.

Apa sampai tua saya harus mengutuki diri sendiri ini? Dengan alasan sedih, malu ketemu orang dan malas jawab pertanyaan yang pasti nanya kenapa jadi sendiri. Wah ndak deh pokoknya. Dari pada harus jawab yang ndak-ndak mending tidak ketemu saja.

Tapi sikap usil saya masih tetap ada. Paling tidak saya mengusili diri saya sendiri. ”Berani tidak kamu kencan lagi?” Jalan sama orang lain, kencan, ngopi atau berciuman. Dengan menohok saya bilang ke diri saya sendiri: “Berani gak sih loe pacaran lagi?”

Ternyata saya memilih tidak berani. Terlalu banyak mikir ini dan itu. Akhirnya sendiri dan sendiri lagi. Tapi mosok begini terus? ”Teman ngopi aja deh, please, sana kencan,” tantang diri saya. Wah harus mulai dari mana ya? Teman sudah tidak ada. Nyari di mana teman kencan. Gak ada ide sama sekali.

Tapi kok ya saya berhasil membuktikan tantangan diri saya ini. Kencan meski sangat hambar. Takut-takut sih awalnya. Dan sangat curiga, ini lelaki jenis apa ya? Maaf kalau saya jadi jahat mikirnya.

Mungkin pembuktian ini perlu saya lakukan. Tantangan ke diri saya ini perlu saya jalani. Keluar dari zona yang seolah membuat saya nyaman dalam kesendirian. Membuat langkah ekstrim untuk memulai hidup sosial kembali. Mungkin Anda tidak perlu seperti itu.

Intinya saya hanya ingin bilang hidup bersosial itu ternyata sangat perlu. Tidak harus berkencan, punya pacar atau menikah lagi. Tetapi menjaga silaturahmi pertemanan akan membantu kita as single pap and mam merasa kuat lagi. Buat saya: berteman itu membantu menyeimbangkan ”kewarasan” saya.

Mikir kencan mulu, bagaimana dengan anak? Pak Bu, di luar semua tugas domestik kita, toh kita perlu kehidupan pribadi pula kan? Bukan soal melupakan anak kalau kita berkomunitas atau berkencan.

Apakah ketika menjalin relasi dengan lawan jenis apakah harus segera mengintegrasikan antara cinta dan keluarga? Mungkin tak perlu buru-buru mengenalkan anak pada kekasih kita. Kalau pada komunitas sosial kita sih, ok saja.

Eh, menurut Pap Mam harusnya bagaimana sih? Sharing yukkk.......


Emmy Kuswandari, Jakarta

Intermezzo


Perkawinan selalu merupakan misteri. Kita bagai menyingkap selubung demi selubung rahasia di dalamnya. Si ganteng yang jadi suami kita, tiba-tiba berubah tidak menarik lagi. Istri yang dulu sangat seksi, setelah sekian waktu ternyata tak lagi jadi bidadari. Rumah yang dulu sangat teduh, menjadi gerah tinggal lebih lama di dalamnya. Kok bisa sih?

Sedikit intermezzo dini hari. Intermezo yang bisa diartikan secara mendalam, meski kita baca sambil tersenyum.


Sebelum menikah….

Cowok : Akhirnya. Aku sudah menunggu saat ini tiba sejak lama
Cewek : Apakah kau rela kalau aku pergi?
Cowok : Tentu tidak! Jangan pernah kau berpikiran seperti itu
Cewek : Apakah kau mencintaiku?
Cowok : Tentu! Selamanya akan tetap begitu
Cewek : Apakah kau pernah selingkuh?
Cowok : Amit-amit, nggak! Aku tak akan pernah melakukan hal seburuk itu
Cewek : Maukah kau menciumku?
Cowok : Ya
Cewek : Sayangku......

Setelah 10 tahun...............

Silakan baca dari atas ke bawah.


Kalau perkawinan pap and mam gimana sih? Saya sih berharap, makin lama si dia makin ganteng atau ayu serta bijak. Dan berada di rumah selalu jadi berkah. Sharring yukkk.


Emmy Kuswandari, usai keriuhan berlalu di Mojokerto, 2009

Dede, Sayang Mbak…………


Saya baru di Malang ketika membuat surat cinta ini. Urusan pekerjaan. Tetapi kalau ditugaskan di Malang selalu saya berbinar. Nasi Madura, Restoran Inggil, Rumah Makan Oen, Bakpo Telo dan Bakso Malang nya tentu saja. Pikiran saya pasti sudah liar. Kerja boleh keras, tapi senang-senang ya harus. Sesekali memanjakan lidah.

Tapi sekaligus saya memanjakan mata. Landscape di Malang, amboi indahnya. Bangunan kunonya masih sangat banyak. Airnya masih adem. Mau nginap di hotel yang serem seperti Spendid Inn atau di Tugu, boleh. Mencari sensasi angker dan bonusnya kita puas melihat barang-barang kuno di museum yang ada di dalam Hotel Tugu. Pokoknya, mantap.

Satu teman yang bergabung hari itu sangat sendu. Ia meninggalkan anaknya yang baru sakit di Jakarta. Satu teman lagi bertengkar dengan suaminya karena di ulang tahun pertama anaknya, ia tak ada di rumah. Jadilah kami saling curhat.

Buat kami, para angle’s perusahaan ini memang penuh dilema kalau harus penugasan luar kota seperti ini. Saya dulu selalu sedih kalau pulang dari luar kota, dan mata anakku memandang asing ke emaknya yang lebih sering tak bersamanya. Bahkan seorang teman cerita, kalau ditanya sama anaknya: dede sayang siapa? Maka dede kecilnya ini akan menjawab bahwa dede sayang mbak. Ditanya sekali lagi, maka dede akan menjawab sayang mami, papi, cici dan mbak. Si mbak ini tidak pernah lupa disebut. Mbak adalah panggilan untuk pengasuhnya.

”Sedih sih aku kalau anakku lebih sayang sama mbaknya. Jadi kepikiran, dia ini anak mbaknya atau anakku sih,” keluh seorang teman.

Hehhehehhe...kalau sudah kejadian, baru deh sadar, anak kita lebih sayang mbak nya atau sayang pengasuhnya. Lebih nangis-nangis kalau ditinggal asisten atau babysitter mudik, dibandingkan dengan ketika kita pamitan untuk berangkat ke kantor atau keluar kota.

Sebetulnya masalah ini, jadi fenomena yang kita coba pungkiri. Kita lebih menjaga bentuk indah payudara daripada buah dada ini tak karuan bentuknya karena menyusui. Jadilah, anak sapi dan bukan anak mami. Begitu bukan? Lebih keren menyusui anak dengan botol daripada harus membuka kancing baju di tempat-tempat umum. Secara, mall – mall kita kurang ramah dengan kebutuhan dasar baby ini, dengan tidak menyediakan tempat khusus untuk menyusui.

Jadi bijaknya bagaimana? Keluar kerja dan tinggal di rumah mengurus anak atau membawa anak ikut keluar kota, atau kerja dan tidak mau ditugaskan keluar kota? Kalau gagasan Pap and Mom bagaimana sih? Berbagi pengalaman yuk.


Emmy Kuswandari, Malang 2009

Belajar Sederhana dari Warren Buffet


Lagi-lagi belajar dari orang terkenal. Warren Buffet namanya. Saya cuma kenal dari foto dan dari beberapa tulisan atau prinsip hidup yang dianutnya. Sungguh, belum pernah berjumpa dan salaman secara langsung, meski ingin sekali.

Warren Buffet, orang kaya di Amerika yang mendermakan 31 juta dolar untuk kegiatan kemanusiaan. Menariknya, orang kaya ini hanya masih tetap tinggal di rumah sederhana yang dibelinya sejak 50 tahun lalu setelah dia menikah. Hanya dengan tiga kamar tidur. Tidak ada kekayaan berlebih di dalamnya.

”Meski sederhana, semua yang saya perlukan ada di dalamnya. Jangan membeli barang berlebih yang memang tidak kita perlukan,” ujar Warren. Ia menegaskan, ajarkan anak Anda untuk memahami dan mengikuti hal serupa.

Oooo....ternyata kalau mau kaya cukup sesederhana itu ya. Tapi ternyata tidak gampang untuk mengikuti anjuran yang sederhana tersebut. Kalau bisa kelihatan mewah, kenapa harus sederhana. Kalau tidak untuk ditunjukkan kepada orang lain, buat apa capek-capek kerja untuk kaya ya. Pasti gitu deh gerundelan pap and mom.

Lha wong kalau belum bisa beli berlian saja, kita beli yang imitasi asal kelihatan kinclong dan besar, betul tidak sih jeng? Atau beli tas Miu Miu (pasti pemiliknya penggemar kucing) KW1 di Mangga Dua. Biar palsu asal gaya.

Lanjut ke prinsip Warren. Meski kaya, Warren masih menyetir sendiri mobilnya. ”Kalau emang saya bisa, kenapa harus dengan driver,” ujarnya. Warren hanya ingin menjadi dirinya sendiri, tanpa harus tampil gaya sebagai orang kaya. You are what you are, tegas Warren. Kalau kita? Belum punya sopir pun semena-mena kalau dikasih kesempatan numpang mobil kantor. Belagak mobil kite. Hehhehehhe.

Jangankan mobil, jet pribadi pun Warren punya, bahkan ia adalah pemilik pabrik jet terbesar. Tetapi untuk perjalanan bisnisnya, ia tetap menggunakan pesawat di kelas biasa saja, bukan di kelas utama. ”Berpikirlah ekonomis,” ujarnya memberi alasan.

Untuk pergaulannya pun, ia tidak memilih dengan selebritas papan atas. Warren cukup bahagia menikmati waktu senggangnya dengan makan pop corn sambil nonton televisi. ”Dont try to show off, just be ur self, and do what you enjoy doing,” begitu babe satu ini berujar.

Satu lagi, meski sanggup membeli pabrik handphone, Warren tidak membawa sebiji pun telepon genggam kemana pun ia pergi. Tidak juga membawa blackberry. Kalau kita? Kalau bisa empat, kenapa hanya punya dua handphone. Hehehehhehh....susah memang jadi orang kurang kaya.


Jadi, belajar apa hari ini dari Pak Warren?

Emmy Kuswandari, Mojokerto, Juli 2009

Tersenyumlah Untukku


Disudut kiri bibirmu
Diantara baris putih gigi kecilmu
Aku mengakuinya
Betapa bagus dan tulusnya senyummu

Disudut sebelah kanan dadamu
Diantara jantung dan paru-parumu
Aku merasakannya
Betapa cantik hati dan kejujurannmu

Kesekian kali aku melihatnya
Selama itu pula aku mengaguminya

Tapi ..
Detik berlalu dan hari bertambah tua
Bersyukurlah kita berdua mendapatkan keduanya
Sebagus senyum dan seindah kejujuranmu

Bunda …
Teruslah tersenyum sebagus itu untukku

Hidup Bahagia itu pilihan


Enaknya jadi orang terkenal. Entah karena suami yang ngetop, karena jabatan, atau ngetop karena kejatuhan duren runtuh. Yang terakhir ini saya memilih tidak mau. Pasti sakit boooo..............

Orang ngetop yang ingin saya kutip yaitu mantan Ibu Negara Amerika, Barbara Bush. Begini Barbara bilang: "Ketika Anda berbicara tentang pendidikan, karir, atau jasa, Anda
sedang berbicara tentang kehidupan. Dan kehidupan harus dinikmati. Kehidupan mestinya menyenangkan."

Enak ya Mrs Barbara ini bilang begitu. Terbang tinggal terbang, makan enak tinggal bilang. Baju bagus pun tinggal pesan. Siapa juga yang menyuruh Anda atau saya tidak jadi orang terkenal. Hehhehhe. Salah nasib barangkali.

Hidup memang harus dinikmati. Masalah pasti ada. Namanya juga manusia. Tidak lagi hidup di dunia fana kalau masalah tidak ada. Kalau happy terus, nanti tidak tahu bagaimana rasa derita. Kalau gambar hanya merah saja pulasnya, kita tak tahu cantiknya pelangi yang warna-warni. Jadi....?

Ada masalah ya dinikmati saja. Kalau selama ini kita sibuk cerita kanan kiri menceritakan masalah kita, seolah-olah kita orang yang paling menderita di dunia, ambilah keputusan untuk berhenti menceritakannya. Semakin kita cerita, makin besar rasanya masalah. Artinya, kita makin memperbesar masalah kita sendiri.

Gambarannya sama, kalau kita menggelembungkan balon sangat besar di depan muka kita, jalan depan kita tak akan terlihat bukan? Masalah juga seperti itu. Makin kita memperbesar masalah, makin tak keliatan jalan keluar di depan yang harusnya dengan gampang kita lalui.

Jadi, stop fokus pada masalah, fokuslah pada jalan keluarnya. Ngutip orang ngetop lainnya lagi ah. Stephen Covery, pengarang Seven Habit bilang, "Bukan berat beban yang membuat kita stres, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut.” Jadi, selesaikan masalah dan pilihlah untuk menjalani hidup dengan bahagia.

Eh, saya sudah termasuk orang ngetop belum ya, takut dikutip nantinya. Hehhehhehhe, becanda.


Emmy Kuswandari, Malang 2009

Tidak ada Kebetulan dalam Penciptaan


“Mengapa nasib begitu kejam dan berubah semena-mena? Mengapa orang benar menderita dan orang salah berkuasa? Mengapa begitu banyak orang jahat yang menghancurkan orang-orang tak bersalah? Mengapa dia menyakiti kita?

Begitu banyak tanya yang meledak-ledak dalam pikiran kita terutama ketika ketidaknyamanan, ketidakbahagiaan datang menghampiri. Kita berpikir, kita lah yang paling menderita di dunia ini.

Itu pula yang terjadi ketika menyadari aku harus menjadi orang tua tunggal untuk anakku. Rasanya itulah kiamat bagiku. Bukan lagi pertanyaan siap atau tidak siap. Semua berputar dalam benakku, tentang karir dan pekerjaanku, reaksi lingkungan sosialku dan yang paling mendasar, bagaimana aku harus membesarkan anakku seorang diri.

Belum lagi, kalau dia beranjak besar nanti, bagaimana pula harus mengomunikasikan ketidaklengkapan ayah ibunya ini. Aku tahu jalanku tidak akan mudah. Ketakutan dan rasa marah ini pula yang menggelapkan kejernihan berpikirku, ketika itu.

Tapi, aku memilih kehidupan, dan itulah yang membuatku bertahan. Aku yakin, rasa malu hanya sesaat dan ketakutan dapat dilenyapkan. Tapi aku menyadari betul, saat itulah, segalanya dalam hidupku tidak lagi sama. Aku merasa, saat itu sangat tidak adil untukku, dan lebih-lebih untuk anakku.

Tetapi betulkah nasib berubah semena-mena dan bergerak tak menentu? Sudiarja, SJ melalui bukunya Bayang-bayang (Galang Press, 2003) mengajakku bercakap. ”Benarkah segala kejadian di dunia ini tidak mempunyai arah dan tujuan? Atau alam semesta ini bergerak tak menentu?” tanyanya.

Aku, kamu dan kita pasti akan menggeleng. ”Tuhan sumber segala sesuatu, dan tentu pula ia tujuan dari segala sesuatu,” ia menjawab tanyanya sendiri.

Ia mengajakku untuk tidak membuang waktu dan menyalahkan sang nasib seperti orang dungu yang hanya berterima kasih saat beruntung dan mengumpat ketika dianugerahi kemalangan.

”Semua orang merindukan kebahagiaan. Semua orang mencari kebahagiaan dengan berbagai cara, entah dalam kemasyuran atau melalui kekuasaan. Tetapi adakah ketenangan hati di sana? Kugelengkan kepala. Belum tentu.

Menurutnya, tak cukup kuat kaitan kekayaan, kekuasaan dengan kebahagiaan. Kekayaan tak akan mampu memuaskan ketamakan, kekuasaan tak juga membuat orang mampu menguasai dirinya sendiri.

”Kebahagiaan tidak terletak pada popularitas atau kekayaan, tetapi pada ketulusan hatinya,” ujar Sudiarja menenangkan.

Aku berhenti mengutuki. Terlebih ketika teman-teman dekatku menyemangati. ”Memaafkan dia yang menyakitimu, sama saja dengan memaafkan dirimu sendiri. Membuka jalan lapang ke masa depan. Jalan lapang yang akan meringankan langkahmu,” begitu kira-kira semangat teman-temanku.

Meski begitu, butuh waktu bagiku untuk berdamai dengan diriku sendiri. Di dada ini menggemuruh dengan kemarahan yang kadang masih meledak datang.

Kata-kata Sudiarja kembali mengingatkanku. Aku sudah memilih kehidupan, pro life dan bukan pro choice. Aku memilih dengan akal dan kebebasanku. Dan itulah adalah anugerah tertinggi sebagai manusia.

”Dengan akalmu kamu mengerti semua ini dan dengan kebebasanmu itu kamu bisa mengarahkan atau pun menjauhkan diri dari Sang Kebaikan, menerima atau menolak penyelenggaraan ilahi,” ujarnya.

”Apa itu penyelenggaraan ilahi?”

”Penyelenggaraan merupakan pengetahuan ilahi yang mendahului perbuatanmu. Tidak ada tindakanmu yang tidak diketahui sebelumnya. Tetapi penyelenggaran ini tidak merebut kebebasanmu,” tambahnya.

”Jadi tidak ada yang kebetulan di alam ciptaan, karena semua sudah diatur. Juga tidak ada kesemena-menaan di dalam nasib,” pungkasnya.

Meski indah kata-kata Sudiarja, selalu butuh waktu untuk mencerna dalam pengalaman pribadi kita. Kebahagiaan atau pun kemalangan, bergaris tipis, tergantung bagaimana kita melihatnya. Kepercayaan pada penyelenggaraan ilahi membantu menyelaraskan pilihan bebas itu tadi.

Kini, aku bisa melihat masa lalu dengan tersenyum. Dulu yang sepertinya bencana besar, kini terlihat kecil untukku. Tidak ada lagi ketakutan sebagai orang tua tunggal. Kami, aku dan anakku menjadi tim yang hebat untuk saling mendukung dan menyemangati. Kami memang berhak untuk bahagia, menghiasai dua hati ini dengan cinta. Dan saya yakin Anda pun setuju, tidak ada yang kebetulan dalam penciptaan.


Emmy Kuswandari, Jakarta

Kalau si Dia Melamar


Sudah hampir subuh saat ini. Mata belum juga terpejam. Kantuk mungkin lupa singgah. Heran saya, kata-kata ternyata mempunyai pengaruh juga terhadap kenikmatan saya memejamkan mata.

Gara-garanya sih sederhana. Minggu lalu, saya “dilamar” kawan kuliah dulu, yang sudah belasan tahun tidak bertemu. Dan kata-katanya masih terus terngiang di benak saya. “Aku mencari calon istri, tidak ingin senang-senang dan sendiri terus,” ujarnya. Singkat, tapi dalam maknanya buat saya.

Kalau cari calon istri (lagi) – teman saya sudah bercerai – kenapa harus lapor ke saya? Jangan-jangan yang dimaksud calon istri itu saya. Wajar tho, karena dia bicara dengan saya.

Untung saya usil. ”Jadi maumu, menikah dengan saya?” Dia hanya melihat di kedalaman mata saya. Dan pasti tidak akan menemukan apa-apa. Lha, mau menemukan apa? Kami sudah belasan tahun berpisah. Saya tidak tahu dia sudah menikah punya anak dan bercerai selama hampir lima tahun terakhir ini. Kalau tiba-tiba kami dipertemukan oleh Fesbuk, dan beberapa kali makan malam, tidak harus diakhiri dengan menerima ”lamaran” bukan?

Kalau mau jujur, ada sih dilema. Terima ndak ya ”lamaran” itu. Atau tetap keukeuh happy being single mom. Porsinya kayak timbangan jungkat ungkit itu, antara ya dan tidak.

Pap and mam, pasti masalah-masalah seperti ini bukan monopoli saya sendiri. Kalau nikah lagi, bagaimana dengan anak-anak nanti. Kalau tidak nikah, bagaimana pula dengan anak-anak. Buat diri sendiri saja ribet, harus mikir untuk anak-anak pula ya.

Katanya sih, wanita yang ditinggal meninggal dunia duluan oleh suaminya, cenderung tidak akan menikah lagi karena pertimbangan anak-anak dan sejuta kenangan indah yang sudah dilalui bersama. Juga dalam benak selalu hadir was-was jangan-jangan kalau menikah lagi khawatir tak dapat suami sebaik yang dulu.

Tapi kalau perpisahan terjadi karena cerai, lebih banyak yang akan segera mengikatkan diri dalam perkawinan berikutnya. Alasannya, menutup sejuta kenangan buruk yang pernah ada. Selain karena alasan finansial dan biologis. Atau khawatir kesepian di masa tua. Yang paling menjengkelkan yaitu menjauhkan iri dengki dan perasaan tak nyaman dengan status janda dari para tetangga.

Tapi di saat ini, kalau makin banyak single mam yang tetap ingin menyendiri mungkin karena pertimbangan tidak lagi tergantung dari faktor ekonomi, cukup percaya diri dan tak hirau dengan selentingan kanan kiri. Anda termasuk yang mana?

Buat saya, menerima lamaran untuk menikah lagi atau tidak, harus menyiapkan mental. Perkawinan tetap merupakan misteri, meski kita selalu meniatkan yang indah dan terbaik. Jadi, saya terima tidak ya lamarannya? Hehehhehehhehe, jawabannya tidak tergantung banyaknya SMS yang masuk lho.

Salam Minggu pagi

Emmy Kuswandari, Jakarta

Happy being a Single Parent


Tidak mudah menjadi orang tua tunggal. Terlebih kalau penyebab perpisahan sesuatu yang tidak kita duga atau tidak kita inginkan. Tatkala hati dan pikiran masih dirundung kemarahan, kesedihan dan kekalutan, di saat yang sama juga harus menyiapkan diri untuk tetap tegak berdiri dan melanjutkan kehidupan.

Saya tahu, dilema ini tidak mudah dilalui siapa pun yang menjadi orang tua tunggal, entah dia laki-laki atau perempuan. Tak sedikit yang terpuruk dan enggan untuk bangkit lagi. Tapi mentari harus terbit lagi bukan untuk menggantikan pekat malam?

Saya sadar, pasti ada ketakutan menghadapi masalah finansial, kebutuhan komunikasi, siapa yang akan membantu mengasuh anak, bagaimana mengatur waktu dan bertumpuk ketakutan lain terhadap peran baru ini. Persoalan akan sedikit lain, bila memang sejak awal seseorang berniat untuk menjadi orang tua tunggal.

Ada waktu memang untuk berkutat dengan ketakutan ini. Tetapi bukan tidak bisa diatasi. Meski ketakutan ini bukan sekedar imaji, tetapi membangun paradigma baru cara berpikir kita akan sangat membantu. Kita taruh ketakutan ini dalam keranjang kelemahan dan kita tutup di atasnya. Tak perlu keranjang ini dibuka lagi, karena hanya akan membuat kita larut di dalamnya atau mengutuki mengapa harus kita yang mendapat peran ini.

Ada kecenderungan, keluarga dengan orang tua tunggal biasanya akan terfokus pada kelemahan dan masalah yang dihadapi. Padahal sebenarnya, sebuah keluarga dengan orang tua tunggal tetap bisa menjadi keluarga yang efektif. Syaratnya hanya satu, tidak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya.

Dalam diri setiap orang, selalu ada kemampuan minimal untuk bertahan. Dari sinilah titik tolak itu dibangun. Menjadi orang tua tunggal bukan akhir dari dunia. Prinsipnya sederhana saja, hidup itu akan njimet kalau kita melihatnya dari kacamata yang ribet. Tetapi hidup itu indah dan mudah kalau kita melihatnya dari sudut ini. Sekarang tinggal pilihan kita, mau hidup yang mudah atau yang njimet?

Pertama yang harus kita niatkan adalah membangun komunikasi yang baik dengan anak. Tentu ada perasaan kehilangan pada anak karena ketidaklengkapan orangtuanya ini. Tetapi komunikasi yang intim dan intensif akan membantu anak mengatasi masalahnya. Termasuk menyiapkan anak memiliki emosi yang terkendali, tidak merasa tertekan karena tidak bisa menjelaskan kenapa hanya ada ibu atau ayah saja di keluarganya.

Penting pula untuk diingat, agar tetap memerlakukan anak dalam usianya. Jangan karena peran kita sebagai orang tua tunggal lalu kita mengarbitnya menjadi cepat dewasa,

Kedua, kalau memungkinkan memilih pekerjaan yang fleksibel, sehingga komunikasi intensif akan terjembatani. Meskipun di zaman sulit ini tidak leluasa buat kita untuk menentukan pekerjaan yang kita maui.
Catatan penting, Anda dan anak dapat menjadi tim yang hebat bila menganggap single parent bukan beban. Dari sinilah kekuatan-kekuatan itu dibangun. Jadi, berhentilah mengutuki diri sendiri, bangkit dan bangunlah kekuatan-kekuatan itu. Saya tahu, Anda pasti bisa.


(Emmy Kuswandari, Jakarta)

Makan is Fun, Baby


Cahaya kecil itu meronta dalam pelukan mamanya. Tangannya sibuk menepis sendok, sambil menyembunyikan mulut di ketiak ibunya. Kakinya pun turut memberontak. Ibunya pun tak kalah akal. Dipegangnya tangan dan dijepit di paha kaki kecil Cahaya agar tidak memberontak saat bubur bayi itu dimasukkan ke mulutnya. Selalu begitu setiap suapan dilakukan. Pemberontakan dan “adu otot” antara mama dan Cahaya. Padahal kalau bubur sudah sampai di mulut, dia akan tenang menelan, dibantu beberapa sendok air putih. Cahaya harus “dipithing” (bahasa Indonesianya apa ya? ) agar mamanya bisa menyuapinya.

Sering kali pemandangan ini yang saya lihat setiap mampir ke rumah Cahaya, gadis kecil yang nyaris 3 tahun itu. Dulu waktu masih baby, saya sih biasa-biasa aja melihat pemandangan ini, karena mungkin Cahaya belum terlalu kuat memberontak. Tapi dua tahun ke atas, rupanya “latihan otot” itu membuat dia lebih bertenaga memberontaki mamanya.

Sampai lepas ulang tahun kedua, Cahaya hanya mau makan bubur, entah bubur bayi atau blenderan dari bermacam-macam sayur dan daging. “Pokoknya apa aja asal, Cahaya mau makan,” ujar mamanya. Sang mama sudah pening sebetulnya dengan acara makan yang sangat merepotkan ini. “Kadang malu juga kalau ada teman datang dan lihat Cahaya harus makan dengan cara begini. Kasian anaknya pula,” ujarnya. Ia pun tak leluasa membawa Cahaya keluar rumah untuk acara makan-makan. Bolak-balik ke dokter spesialis juga tak banyak membantu.

Cahaya gadis yang aktif dan sangat pandai menirukan banyak hal. Belasan lagu sudah bisa dia nyanyikan sejak kecil dan juga doa-doa. Tubuh mungilnya pun gemulai menari. Dia bergerak sepanjang waktu. Tapi tak pernah sekalipun mau minta makan meski dia sangat lapar. Akibatnya, berat tubuhnya pun tak jauh bergarak dari batas minimal berat badan di usianya, bahkan kadang di bawah garis.

Makan is Fun

Suasana makan yang tidak menyenangkan ini membebani ibu dan anak tersebut. Makan jadi saat-saat yang tidak menyenangkan. Mungkin Cahaya berpikir, kalau bisa, gak usah makan deh, biar gak tersiksa. Sang mama pun harus putar otak, agar ada asupan yang masuk ke tubuh anaknya.

Rasanya tidak percuma saya berkawan dengan master Neuro Lingustic Programming (NLP) seperti Dokter Achmad Fadly Noor. Ketika saya cerita masalah ini, singkat saja komentarnya: biarkan anak makan apa saja yang dia suka. Orang tuanya yang harus diterapi bukan anaknya.

Intinya, orang tua tak perlu ada kekhawatiran anaknya harus makan ini itu seperti yang dimaui orang tuanya. Biarkan makan, apa saja yang dia suka. ”Dulu memang aku khawatir banget dia tidak mau makan. Jadi harus aku paksa makan, meski itu hanya bubur,” ujar Mama Cahaya.

Mama Cahaya meyakinkan dirinya, memasukkan banyak kata-kata positif bahwa dia senang anaknya tumbuh sehat dan makan hebat. Dia pun sering mengajak Cahaya untuk ngobrol-ngobrol soal makan yang menyenangkan. Proses yang alami dan sangat sederhana.

Hari-hari awal ketika proses itu terjadi, sang mama pun menghentikan asupan bubur. Cahaya pun hanya makan nasi sedikit saja. Cahaya makan sendiri, mengambil butiran nasi sedikit demi sedikit. Mama pun harus sabar untuk tidak memaksa anaknya makan nasi lebih banyak lagi. Hari-hari berikutnya, dia sudah makan nasi lebih banyak, plus lauknya. Kalau papa mamanya makan, Cahaya pun nimbrung.

Sebulan kami tak bertemu. Sampai suatu saat Cahaya mampir ke rumah. Tahu kalimat pertama yang dia sampaikan? ”Tante, Cahaya sudah gede, sudah tidak makan bubur lagi. Makan nasi pakai sambel Cahaya berani,” ujar Cahaya dengan senyum lebar dan jingkrak-jingkrak. Wahhh.....hebat. Dia bangga tidak dianggap bayi kecil lagi yang harus makan bubur dengan suasana tidak menyenangkan. Pipinya jadi gembul. Mama pun tersenyum bahagia. Dan lucunya, Cahaya pernah menghabiskan nasi dan lele hampir satu porsi orang dewasa.

Ilmu sederhana dan berguna banget bukan?


Emmy Kuswandari , Jakarta

Tuhan, Buatkan Ayah untuk Aku ya


Benaeng tiba-tiba melipat tangan di depan dada. Dia berdoa. “Ya Tuhan, buatkan ayah untuk aku ya. Yang bisa antar aku ke sekolah. Yang ganteng ya Tuhan. Cepat buatkan ya Tuhan. Satu saja, untukku,” begitu pintanya. Raut mukanya serius. Tapi usai berdoa, dia tersenyum ke arah saya, lalu bertanya, “Bunda, kapan ya ayah selesai dibuat Tuhan?”

Kejadian itu dua bulan lalu, ketika kami habiskan liburan bersama. Dan hampir setiap hari dia menanyakan kapan ayahnya akan selesai dibuat Tuhan. Tidak mudah bagi saya untuk menjelaskan kenapa dia hanya memiliki bunda dan tidak memiliki ayah. Ayah, seperti dalam pintanya tentu bukan seperti adonan roti yang dibuat sekarang dan beberapa jam lagi akan mengembang.

Bukan sekali dua kali saya mendapatkan pertanyaan dari Benaeng yang sulit untuk saya jawab. Usia dua tahu dia sudah bertanya kenapa dia tidak punya ayah. Pertanyaan serupa diulang di tahun berikutnya. Pada umurnya yang keempat saat ini, dia membuat permohonan agar Tuhan membuatkan adonan ayah untuknya.

Kali lain dia minta dibuatkan adik bayi kecil. ”Kita ambil di rumah sakit saja Bunda, yang tidak diambil orang tuanya,” begitu ujarnya. “Nanti aku yang kasih susu dan suapin,” lanjutnya. Kalau Benaeng sekolah bagaimana? tanya saya. “Titip dulu ke pembantu, nanti pulang sama aku lagi,” lanjutnya.

Tidak mudah sebagai orang tua tunggal menghadapi keingintahuan anak, terlebih di saat-saat pembentukan kepribadian seperti saat ini. Tidak cukup saya diam atau menjawab dengan senyuman karena dia akan mengejar sampai dapat jawaban yang dia inginkan. Jawaban dalam bahasa sederhana yang dia pahami.

Tetapi satu hal, sejak perpisahan di awal pernikahan dulu, saya memang bertekad untuk mendidik dia dengan ketulusan, tanpa dendam dan memaafkan perpisahan itu. Tapi ternyata tiga kata itu tidak mudah saya jalankan. Butuh waktu untuk bergulat dengan kata maaf.

Kini, saya sadar, tiga kata itu seolah menjadi mantra bagi saya menjalani hari-hari yang menyenangkan dengan Benaeng. Dia menjadi anak yang sangat peduli, terlebih dengan bundanya. Tulus, tanpa dendam dan memaafkan justru menjauhkan saya dari energi negatif yang mungkin akan melingkupi saya dan akhirnya tak mampu berkomunikasi dengan baik bersama Benaeng.

Saya bergulat untuk mengolah energi negatif itu menjadi positif. Tak mudah memang. Dan perlu waktu. Tapi selalu ada keyakinan, berpikir positif akan memudahkan menyelesaikan berbagai masalah yang muncul.

(Emmy Kuswandari, Jakarta)

Temanku Bun……


Dear BuN,
Sapaan yang agak aneh di telinga. Tapi karib kedengarannya. Sekarib celoteh yang selalu keluar dari bibirmu, riang dan renyah. Pasti hangat ya BuN bila berada di dekatmu, karena itulah pancaran auramu.

BuN,
Saat aku menulis surat ini untukmu, aku sedang mendengarkan Still nya Commodores dan Three Times A Ladi nya Lionel Richie. Sambil senyum sendiri membayangkan mata yang tanpa dinding yang kau miliki. Yah, itulah mata kamu, yang akan meleleh menumpahkan limpahan air matamu, bila sedikit saja rasamu terusik. Sedemikian peka dirimu BuN. Tapi aku tahu, itulah kekuatanmu.

Pasti masih jelas terekam, saat kau jongkok di depan kelas itu. “Tidak bisa jongkok nih, perutnya gendut,” keluhmu. Tapi kau terus diam dalam posisi itu, sambil menutup mukamu dengan telapak tangan. Dan, bisa kutebak adegan yang berikutnya. Kau coba menutup tumpahan air mata itu. Tapi tak berhasil. Alirnya lebih kuat dari tapak jarimu.

Dan bola-bola mainan itupun kami lempar kearahmu. Hanya bola mainan, tetapi ia merajam rasamu. Mengusik gundahmu, memenuhimu dengan cemooh. Bola demi bola, kata demi kata. Dan kami masing-masing melakukan dengan kesungguhan mencelamu, sampai runtuh harga dirimu. Hanya semenit dua menit sebetulnya. Tapi aku tahu, saat itu sepertinya waktu berhenti berdetak. Membuatmu ingin meledak.

Dengan masih terisak, kau berdiri di kursi merah itu. Dan masih memainkan adegan yang sama. Dirajam dengan bola penghinaan, sesuatu yang selalu coba kau hindari seumur hidupmu. Ternyata beda ya, ketika kita dihina dalam kondisi terpuruk, dan ketika kita berada di posisi atas. Padahal sama-sama dihina. Bedanya hanya cara kita menyikapi ketidaknyamanan itu.

Ah permainan sederhana yang menyembuhkan luka ya BuN. Kita, kamu dan kami, belajar banyak. Terima kasih BuN, lukamu juga menyembuhkan kami.

BuN, kini bara semangat sudah menjala di hatimu kan? Untuk rumah besar yang bisa kau jadikan tempat berkarya. Aku yakin, baranya tidak pernah padam. Seperti nyala hangat yang selalu kau lihat di mata putri kecilmu. Itulah nyala kehidupan.

Terima kasih ya BuN, sepenggal waktu bersama di Pine Wood, yang membuat kita lebih mengenal kedalaman hati kita masing-masing. Ah, kali ini lagu yang aku dengar You Make My World So Colourful. Yukkkk warnai dunia ya BuN.

BuN, adalah salah seorang teman yang mengikuti kegiatan Quantum Trance Formation di Pine Wood, beberapa waktu lalu.


Salam

Emmy Kuswandari, Malang Juli 2009

Penjara Itu Bernama Sekolah


Bermula dari sekolah percobaan, kini sekolah yang memberikan kebebasan penuh pada anak tersebut menjadi sekolah pembuktian. Awalnya dari ide yang sangat sederhana, bagaimana membuat sekolah yang cocok dengan anak-anak, bukannya anak-anak yang harus cocok dengan sekolah.

Sekolah yang didirikan Alexander Sutherland Neill di Inggris pada tahun 1921 pun membebaskan anak-anak untuk menentukan apa yang mereka mau. Mereka membuang jauh-jauh ketertiban, arahan, anjuran, pengajaran moral, dan pengajaran agama.

"Kami dianggap berani dengan ide ini, padahal tak dibutuhkan keberanian apa pun," ujar Neill. Yang dibutuhkan hanyalah keyakinan penuh bahwa anak-anak adalah makluk yang baik dan bukan makhluk jahat. "Kami meyakini sepenuh hati," tambah Neill. Keyakinan Neill tak pernah surut, sejak sekolah didirikan hingga saat ini.

Di sekolah ini, anak-anak bebas memilih pelajaran yang akan mereka ikuti. Bahkan bagi anak yang baru masuk ke sekolah "sesukamu" itu, mereka bebas bermain sepanjang waktu, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.

Neill sangat memahami, butuh waktu bagi anak untuk menjadi dirinya sendiri setelah begitu tertekan dari sekolah "normal". Panjang pendek masa penyembuhan ini tergantung pada seberapa besar kebencian yang ditanamkan oleh sekolah "normal" ke dalam diri mereka. Seorang anak TK yang pindah ke Summerhill akan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan baru di sekolah tersebut. Tetapi makin bertambahnya umur anak, semakin lama waktu penyembuhan yang mereka lakukan. Bisa jadi mereka bersumpah tidak akan pernah mau lagi mengikuti pelajaran "terkutuk" yang selama ini mereka dapatkan dari sekolah lamanya.

Bagi Neill, pelajaran bukanlah sesuatu yang penting. Aktivitas belajar tidaklah sepenting kepribadian dan karakter. Jack, salah satu siswanya, tidak lulus masuk ujian perguruan tinggi karena dia membenci buku. Tetapi ketidaktahuannya tentang pelajaran tidak menghalangi hidupnya. Jack tumbuh menjadi seorang yang sangat percaya diri.

Tes yang dilakukan di kelas pun sangat iseng. Pertanyaannya, di manakah Pulau Kamis, obeng, demokrasi dan kemarin? Tak butuh jawaban. Tetapi anak yang baru saja masuk tidak memberikan jawaban seperti jamaknya anak-anak yang sudah lama di Summerhill. Bukan mereka bodoh, tetapi karena sudah terbiasa dalam rimba keseriusan, padahal bagi anak-anak yang sudah lama di Summerhill, justru keisengan ini yang dinantikan.

Anak Bermasalah
Bagi Neill, memaksakan pelajaran pada anak, sama saja memaksakan pekerjaan yang tidak menyenangkan buat anak. Tak bisa disangkal, banyak anak bermasalah di Summerhill. Mereka yang berkali-kali dikeluarkan dari sekolah, pribadi yang penuh kebencian atau pemberontakan. Neill tidak menyangkal kalau seorang anak sebetulnya tumbuh dengan egonya. Tetapi ia yakin, ego yang dipelihara dengan baik, akan memiliki apa yang disebut dengan kebaikan. Tetapi ego yang dikekang hanya menghasilkan kejahatan.

Anak-anak yang dianggap jahat sejatinya ia sedang berusaha mencari kebahagiaan. Rumah dan sekolah seringkali menjadi sumber ketidakbahagiaan dan sikap antisosial. Kebahagiaan yang tak mereka rasakan sejak kanak-kanak hanya akan membuka celah bagi kebahagiaan palsu yang didapat dari kegiatan merusak, mencuri, atau menghajar orang. Kejahatan dan hukuman tidak akan pernah mengatasi kejahatan dan kenakalan anak.

Ketika seorang muridnya mencuri, menurut Neill, yang dicuri anak itu adalah kebahagiaan. Sebetulnya ia ingin mendapatkan perhatian dan kebahagiaan. "Saya tidak menghukumnya," ujar Neill. Ia justru memberinya hadiah, kadang uang atau apa pun. "Buat apa memarahi mereka, mereka akan sadar dengan sendirinya," ujar Neill. Dan resep ini sangat manjur.

Anak-anak yang bermasalah menurutnya adalah anak yang tidak bahagia. Dia berperang dengan dirinya sendiri, konsekuensinya dia berperang dengan seluruh dunia.

Kebebasan pula yang menghilangkan rasa takut pada anak-anak. Anak-anak kecil di Summerhill tidak ada yang takut dengan petir atau gelap. Jadi kebebasan juga mengubah anak yang semula penakut menjadi pemberani dan teguh pendirian.

Jika ada anak yang ketahuan mencuri, ia hanya diminta mengembalikan apa yang sudah diambilnya. Hukumannya pun ditentukan oleh anak-anak sendiri. Sekolah ini memang dikelola bersama, guru dan siswanya. Swakelola istilah mereka. Dari hukuman-hukuman ini, mereka sadar bahwa mencuri itu merugikan. "Mereka adalah para realis cilik. Mereka tidak akan mengatakan bahwa tuhan akan menghukum pencuri," ujar Neill. Seminggu sekali mereka mengadakan rapat bersama untuk membahas semua kejadian dalam keseharian mereka. Hukuman, ketidaksetujuan, dan ide dibahas secara demokratis. Guru tidak campur tangan. Semuanya diselesaikan sendiri oleh anak-anak.

Sejak didirikan hingga saat ini, sudah banyak alumni Summerhill School yang berhasil, entah apa pun pekerjaan yang mereka lakukan.

Dalam konteks Indonesia, sekolah yang membebaskan ini tentu sangat diperlukan. Anak-anak yang sangat putus asa dan tertekan dengan sekolah, butuh "penyembuhan". Sangat tidak masuk akal melihat anak-anak putus asa bahkan mengakhiri hidup mereka karena permasalahan sekolah. Terlebih ketika anak-anak sangat tertekan dengan Ujian Nasional dan ketentuan-ketentuan yang "menggantung" hidup dan masa depan mereka. Sekolah tanpa kita sadari sudah menjadi penjara. Dan orang tua pun berlomba-lomba memasukkan anak ke dalam penjara.

Judul : Summerhill School (Pendidikan Alternatif yang Membebaskan)
Pengarang : Alexander Sutherland Neill
Penerbit : Serambi

Emmy Kuswandari, Jakarta

Hikayat Pensil


Seorang cucu bertanya pada neneknya yang sedang menulis sebuah surat. "Nenek lagi nulis tentang pengalaman kita ya? Atau tentang aku?" Si nenek stop menulis dan berkata pada cucunya, "sekarang nenek sedang menulis tentang kamu, tapi ada yg lebih penting
dari isi tulisan ini yaitu pensil yang nenek pakai."

"Nenek harap kamu bakal seperti pensil ini ketika kamu besar nanti," ujar si nenek lagi. Mendengar jawab ini, si cucu lalu melihat pensilnya dan bertanya kembali kepada si nenek ketika dia melihat tidak ada yang istimewa dari pensil yang nenek pakai.

"Tapi nek, kayaknya pensil itu sama saja dengan pensil yang lainnya," kata si cucu. Si nenek kemudian menjawab, "Itu semua tergantung dari kamu melihat pensil ini." "Pensil ini punya lima kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalo kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini." Si nenek kemudian menjelaskan lima kualitas sebuah pensil.

"Pertama, pensil ingatkan kamu kalau kamu bisa berbuat hal hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkah kamu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya " .

"Kedua, dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani terima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik."

"Ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk pakai penghapus untuk perbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar".

"Keempat, bagian yang paling penting sebuah pensil bukanlah luarnya, tapi karbon yang ada di dalam pensil. Oleh sebab itu, selalulah hati-hati dan sadari hal-hal di dalam dirimu.”

"Kelima, sebuah pensil selalu tinggalkan tanda/goresan. Seperti juga kamu, kamu harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dlm hidup ini akan tinggalkan kesan. Karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakanmu.” (Paulo Coelho)

NB: Ini bukan tulisan saya, tetapi menarik belajar makna di dalamnya. Salam

Emmy Kuswandari, usai dari Bangkalan Madura 2009