Rabu, 09 September 2009

Beban

“Papa sih genit pakai menolong gadis tadi. Gara-gara papa sih kita jadi telat. Akibatnya kita jadi tidak bisa ketemu Pak Anu yang super penting itu. Kan susah cari waktu lagi. Coba kalau kita langsung jalan, pasti ada orang lain yang menolong dan kita tidak telat,” protes seorang istri. Masih panjang protes yang disampaikannya.

”Aku sudah meninggalkan gadis cantik tadi berjam-jam yang lalu, ketika usai kutolong. Tetapi kenapa kamu masih ”membawa” dia ke sini,” ujar sang suami.

Ini petikan sederhana dalam keseharian kita. Seringkali kita masih mengungkit-ungkit kejadian tidak menyenangkan di masa lalu dan menghadirkannya kembali di ruang keluarga, di kantor atau di cafe-cafe. Atau menyimpannya hingga menjadi bangkai di pikiran kita.

”Saya tidak bahagia. Kesalahannya di masa lalu tidak bisa dimaafkan. Gara-gara dia hidup saya tidak bahagia. Sakit rasanya,” ujar seorang teman. Rasa sakit ini sudah ia simpan sejak belasan tahun lalu, tapi ia masih membawa beban itu hingga kini.

Jamak bukan kita mendengar keluhan seperti ini?

Sama seperti sang istri atau kawan tadi, seringkali kita tidak mau melepaskan saja beban masa lalu itu. Kita tetap membawanya kemana pun kita pergi.

Padahal, kita hanya perlu meninggalkan ”gadis cantik” atau beban itu usai menolongnya atau memaafkannya, agar penderitaan segera berlalu. Tidak ada gunanya kita terus merasa sakit dengan hal-hal yang sesungguhnya sudah selesai.


Emmy Kuswandari

Selasa, 08 September 2009

Inspeksi

Saya selalu suka akhir pekan. Ini saat my me time, entah di Jakarta atau Yogya. Saat internet nyala sepanjang waktu. Saat saya bisa menyusur jalan dengan kekasih kecilku. Saat saya tak henti main tebak-tebakan atau melakukan hal-hal konyol berdua. Dan saat saya bisa menari sepanjang waktu dengan Bhumyku. Gayanya? Muter-muter seperti pesawat terbang, megal-megol tidak karuan atau dansa a la Bhumy: kaki kecilnya ditumpangkan di atas kaki saya, berpegangan tangan dan jalan seperti robot. Akhir pekan memang selalu lain rasanya.

Saya yakin, di hari kerja, Anda lebih akrab dengan PDA, agenda, jadwal meeting, memeriksa pekerjaan, bertemu dengan ABCDE, balik meeting lagi, kasih instruksi dan lain sebagainya. Bergerak, bergerak, memeriksa, merencakan, evaluasi.

Kita memeriksa anak buah dan mendapai mereka kerja tidak maksimal
Memeriksa klien dan menemukan banyak ketidakberesan
Memeriksa kontrak dan menemukan banyak kecurangan
Memeriksa persiapan even dan menemukan banyak hal yang tidak memuaskan
Memeriksa PR anak dan mendapati banyak nilai mengecewakan di mata kita
Memeriksa baju untuk esok dan mendapati ketidakserasian
Memeriksa mawar tersayang dan melihatnya layu di pot

Begitu sibuknya waktu demi waktu kila lakukan untuk memeriksa segala sesuatu di luar diri kita.

Tapi seberapa sering kita bertanya, sudahkah kita memeriksa ke dalam diri kita sendiri? Sudahkah hari ini kita memeriksa kemana hidup akan melangkah.
Sudahkah memeriksa hati dan pikiran kita?
Sudah cukup positifkan hari ini?

Yang jamak terjadi, dalam hidup kita disibukkan dengan memeriksa orang lain, hal lain, pekerjaan lain. Dan lupa memeriksa diri kita sendiri. Sampai akhirnya lupa arah dan mendapati diri kita hampir tenggelam dalam keputusasaan. Padahal kata sang bijak: Do not expect until you inspect.

Emmy Kuswandari, usai weekend yang menyenangkan di Jakarta.

Energi

Hidup di Jakarta membuat saya harus flesibel. Menerobos kemacetan dengan ojek atau bergelantungan di Bus Trans Jakarta. Saat paling nyaman tentu di sejuknya taksi ber AC. Tapi apapun saya nikmati. Termasuk keliling Jakarta kota tua dengan ojek sepeda.

Pagi itu saya memutuskan naik taksi. Begitu meletakkan pantat, sopir taksi dengan pet Tino Sidin itu sudah mengeluhkan pendapatnnya yang tidak mencapai target selama puasa ini. Dirinya baru saja sembuh dari sakit selama beberapa waktu. Anak-anaknya merengek baju baru dan kue istimewa di hari raya. ”Saya sih hanya bisa janji, karena pasti tidak akan dapat THR tahun ini,” ujarnya. Perusahaannya menerapkan quota tertentu untuk THR.

Ia yakin tidak bisa memenuhi janji itu. ”Untuk makan saja susah,” tambahnya. Peniti emas, penghargaan masa pengabdiannya dijualnya seharga Rp 400.000. ”Daripada dipajang malah ilang, mending dijadikan uang,”alasannya. Cerita ketidakberuntungannya masih panjang. Perjalanan 30 menit penuh dengan keluhan. Mungkin ia lega.

Lalu mata saya tertumbuk pada ”manusia gerobak” , tuna wisma yang hanya memiliki gerobak sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah. Kalau malam, di gerobak itu pula, kaki-kaki lelah ditumpangkan. Di gerobak-gerobak yang lain, anak-anak kecil mencari secuil kehangatan di dalamnya.

Lelaki pembawa gerobak itu tertawa lepas. Perempuan - mungkin istrinya - menyumbang senyuman. Kardus, botol bekas minuman mineral dan plastik itu jadi rezekinya. Artinya: secangkir beras untuk berdua bakal didapatnya. Toh hidup hanya perlu secangkir beras setiap harinya.

Ekor mata sopir taksi pun merekam adegan itu. ”Bahagia itu gampang ya Pak. Hanya punya kardus, botol bekas dan plastik rombeng pun sudah membuat mereka tertawa lebar,” ujar saya. Lalu, jeda panjang mengantarkan saya ke tujuan. Ketika turun, sopir itu pun berujar: ”Terima kasih, Bu.” Matanya sendu, mungkin malu yang dicampur galau.

Dalam hidup kita sepanjang 30, 40 bahkan 50 tahun ini, apa saja sih isinya?

Mungkin kita lebih fokus pada:
• Keluhan
• Menyalahkan
• Memaki
• Sumpah serapah
• Menyebar isu
• Memanas-manasi
• Pemicu masalah
• Ketakutan
• Merasa paling menderita
• Reaktif
• Menurunkan motivasi

Sepanjang hidup. Lalu kita pun menjadi penyerap energi (negatif). Hasilnya? Tabungan negatiflah yang lebih besar kita dapatkan. Plus bunga-bunganya. Menderita banget tidak sih? Hidup sekali saja kok menderita.

Daripada merepet dengan keluhan dan menjadi penyerap energi (negatif) mending menjadi pemancar energi (positif). Apa sih ciri-cirinya:

• Fokus pada tujuan
• Memberi tanpa syarat
• Bertanggung jawab
• Dapat diandalkan
• Pemecah masalah
• Memiliki motivasi untuk berkembang
• Mentalitas pemberi
• Proaktif
• Menciptakan
• Bicara lebih baik dan tentang hal baik dengan orang lain
• Bahagia


Lebih indah mana? Hayooo mau pilih energy sucker atau energy giver? Cinta adalah mata iar motivasi yangmengalirkan semangat indahnya kehidupan.

Emmy Kuswandari
Menjelang berbuka dengan teman-teman sambil bercerita tentang writing is a lifestyle.

Jakarta, September 2009

Minggu, 06 September 2009

Kencan Istimewa

Sabtu lalu kencan saya sangat istimewa. Komplit pakai telor dan penuh cinta. Daripada nanti saya ditanya siapa lelaki beruntung itu lebih baik saya sebutkan namanya: Agus Sufriyadi (ada di FB dan link saya). Masih muda, baru 23 tahun. Brondong booooo.....

Agus melebihi lelaki manapun yang pernah saya kenal selama ini. Tingginya proporsional. Hari itu ia memakai celana kain warna hitam dan kaos tiga warna – biru putih dan hitam. Rambutnya rapi. Di telinganya terselip earphone. Keren. Mirip Paspampres.

Dia datang telat ketika kami, teman-teman dari berbagai komunitas, sedang belajar tentang No Limits. Begitu ia membuka pintu, saya tahu lelaki itu sangat percaya diri. Dan benar dugaan saya. Ia memang sangat percaya diri. Ia pernah ke Hongkong menyemangati saudara-saudara kita yang bekerja sebagai TKI di sana. Agus sukses berwirausaha. Tempat dagangnya ada di beberapa tempat.

Di mata saya, Agus memang sangat istimewa. Saya masih sering tidak percaya diri ketika salah kostum atau berada di lingkungan yang baru. Tetapi ia tidak. Begitu cair Agus membaur bersama kami. Meski untuk bicara, ia sedikit mengalami ketersendatan. Perlu bantuan seorang kawan untuk melengkapi atau menjelaskan kata-kata Agus.

Earphone itu adalah alat bantu dengar yang ia pakai sepanjang hidupnya, hingga saat ini. Ya, Agus menderita Celebral Palsy serta mengalami gangguan pendengaran.

Tapi begitu bersemangatnya ia tentang hidup. Kami mengundangnya sebagai pembicara, tetapi ia malah larut menjadi peserta seperti kami. Dan hatinya....hemmm...penuh dengan cinta, toleransi dan kepedulian.

Saat kami menggambar tentang cita-cita, hambatan dan hidup yang kami inginkan ke depan, ia menggambar tentang dirinya, satu temannya yang buta dan satu yang tuna rungu. Lalu ia melengkapi gambarnya dengan tulisan ”Allah” dalam huruf Arab. Ia menggambarkan betapa ia cinta dengan tuhan dan ingin hidup di jalannya.

Sampai hari ini ”kencan” dengan Agus begitu membekas. Menorehkan catatan di hati. Agus begitu bahagia dan bersyukur terhadap segala kekurangnnya. Tapi kenapa kita justru seringkali mengutuki kelebihan kita? Di tengah keterbatasannya, Agus “menumbuhkan” tangan, kaki, mata dan pendengaran bagi teman-temannya, tapi kenapa kita seringkali justru “memangkas” segala kelebihan teman-teman kita, hanya supaya biar kita sendiri yang eksis dan menonjol.

Gus, tarima kasih ya. Kencan kemarin begitu menyemangati saya. Terima kasih boleh bersalaman, mendengarkan kata-katamu dan menikmati gambarmu. Buatku, kamu adalah gambaran kehidupan yang sangat indah.

Salam hormatku untuk ayah ibumu, yang mengajari kamu tentang hidup, tentang cinta dan tentang rasa.

Kamu membuatku kembali mensyukuri semuanya. Bukankah rasa syukur merupakan ungkapan emosi yang paling kuat? Yang mampu membersihkan racun-racun yang dihasilkan oleh rasa takut, tidak nyaman dan marah.

Terima kasih ya Gus.