Selasa, 19 April 2016

Dunia pada Selembar Kertas



Terberkatikah Cai Lun  atau juga yang  dikenal dengan nama Ts’ai Lun.  Hidup di masa  Dinasti Han abad ke 1–2 Masehi. Karena dialah kita mengenal surat cinta. Begitu juga ijazah SD dan akta nikah. Tertera pada selembar kertas dan bukan lempengan timah atau keramik yang mudah pecah.

Bayangkan, ketika akta pernikahan dari keramik dan retak dimakan zaman, lalu potongannya disambungkan dengan retakan yang lain, maka nama pasangan kita pun akan berubah saat itu juga.

Apa jadinya, kalau kita harus membawa sabak kemana-mana hingga saat ini. Berapa banyak sabak untuk bisa menikmati cerita panjang seperti novel.






Maka kesempatan jalan-jalan ke pabrik kertas menjadi kegembiaraan tersendiri pagi itu. PT Pindo Deli Pulp and Papers Mill di Karawang. Hampir 2 jam perjalanan lancar dari Jakarta.

Rerimbunan acacia crassicarpa tegak berdiri. Langsing, ramping dan berjejer dengan indahnya. Ini adalah bahan baku utama untuk pembuatan  kertas. Ada jenis yang lain. Mangium ataupun eucalyptus. Dan beruntungnya Indonesia dengan sinar mataharinya yang berlimpah. Bahan baku ini bisa dipanen dalam waktu yang cepat, 5-6 tahun saja. Negara dengan berbagai iklim dingin harus sabar menanti panenannya, bisa 15-20 tahun.

Tegakkan pohon ini akan dicincang dan masuk ke dalam mesin, menjadi bubur. Dengan sentuhan bahan-bahan kimia, jadilah kertas dengan berbagai kegunaan dan ukuran. “Kertas kita tersertifikasi halal, dan aman digunakan,” ujar Jumali, dari Pindo Deli yang menjelaskan siang itu.

Kantuk yang semula datang kala penjelasan proses, menjadi hilang ketika musik jingkrak hinggap di telinga. Cara cerdas perempuan berjilbab yang memandu kami siang itu, menggantikan Jumali. Mata pun jadi nanar melihat video proses produksi kertas diputar. Sesekali ditimpal suara perempuan berjilbab tadi.

“kita akan tour melihat proses sebenarnya. Tapi ada aturan tidak boleh memotret di area produksi. Semua proses dikendalikan oleh sensor-sensor yang dipantau lewat computer,” jelasnya. Sensor yang sensitif akan menolak kilatan cahaya yang tak semestinya. “Proses bisa terhenti karena itu,” tambahnya.

Meski pun begitu, legalah kami, ketika tetap ada kesempatan berfoto di dekat jumbo roll kertas. Bukankah update status dan pamer foto dengan objek tak lazim tetap harus dilakukan oleh kaum narsis seperti kami. Hehehheheh ……….




Bau pabrik, selalu khas. Apapun produksinya. Beberapa akan mengatakan bau dolar. Beberapa akan mengatakan bau karena panas yang menguar. Entahlah kenapa bau khas itu yang saya suka. Di luar itu, melihat pabrik, laksana melihat Negara. Sangat  tertata. Berjalanlah di sebelah kiri untuk naik dan turun di sebelah kanan. Jalankan kendaraan 30 meter perjam. Tidak boleh merokok. Harus berhelm. Memakai masker. Penutup telinga. Berjalan dalam line kuning.

Tanpa sadar kami sedang menata informasi dalam pikiran kami. Bahan baku kertas itu dari Hutan Tanaman Industri dan bukan dari hutan alam. Kayu yang digunakan diameternya kecil dan bukan log yang besar.

Saya juga sedang mengolah informasi dalam otak kecil ini, bila industri pulp dan merupakan industri nasional yang sangat potensial, tentu dia tidak boleh mati. Bayangkan,  saat ini Industri pulp nasional menempati peringkat ke-9 dunia dengan kapasitas mesin terpasang 8 juta ton/tahun.  Sementara untuk industri kertas nasional menempati peringkat ke-6 dunia dgn kapasitas mesin terpasang 13 juta ton/tahun.



Namun sayangnya, konsumsi per kapita kertas di Indonesia masih sangat rendah: 32,6 kg. Sementara USA 324 kg, Jepang 242 kg, dan Malaysia 106 kg.  Bandingkan lagi konsumsi per karpita kertas negara lain: Belgia 295 kg, Kanada 250 kg, Singapura 180 kg.  Saat ini kebutuhan kertas dunia sekitar 394 juta ton, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 490 juta ton pada tahun 2020.  Demand kertas dunia tersebut potensi Indonesia untuk meningkatkan ekspor pulp & kertas dengan unggulnya sumber daya alam kita.



“Mbak, kenapa sih konsumsi kertas kita rendah? Bukankah budaya baca kita cukup baik?” tanya teman dudukku sore itu. Dan disinilah jebakan betmen itu mulai lagi, daya baca rendah, konsumsi kertas lemah. Ahhh…….


Saya harus segera kembali ke Jakarta. Berburu senja. Sambil menebak wajah Ts’ai Lun seperti apa dalam pendar warna jingga.

 

 


 

Emmy Kuswandari, 19 April 2016

Pic Note: Jaka Anindita, Eriko and friends