Terberkatikah
Cai Lun atau juga yang dikenal dengan nama Ts’ai Lun. Hidup di masa
Dinasti Han abad ke 1–2 Masehi. Karena dialah kita mengenal surat cinta.
Begitu juga ijazah SD dan akta nikah. Tertera pada selembar kertas dan bukan
lempengan timah atau keramik yang mudah pecah.
Bayangkan,
ketika akta pernikahan dari keramik dan retak dimakan zaman, lalu potongannya
disambungkan dengan retakan yang lain, maka nama pasangan kita pun akan berubah
saat itu juga.
Apa
jadinya, kalau kita harus membawa sabak kemana-mana hingga saat ini. Berapa
banyak sabak untuk bisa menikmati cerita panjang seperti novel.
Namun sayangnya, konsumsi per kapita kertas di Indonesia masih sangat rendah: 32,6 kg. Sementara USA 324 kg, Jepang 242 kg, dan Malaysia 106 kg. Bandingkan lagi konsumsi per karpita kertas negara lain: Belgia 295 kg, Kanada 250 kg, Singapura 180 kg. Saat ini kebutuhan kertas dunia sekitar 394 juta ton, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 490 juta ton pada tahun 2020. Demand kertas dunia tersebut potensi Indonesia untuk meningkatkan ekspor pulp & kertas dengan unggulnya sumber daya alam kita.
“Mbak, kenapa sih konsumsi kertas kita rendah? Bukankah budaya baca kita cukup baik?” tanya teman dudukku sore itu. Dan disinilah jebakan betmen itu mulai lagi, daya baca rendah, konsumsi kertas lemah. Ahhh…….
Saya harus segera kembali ke Jakarta. Berburu senja. Sambil menebak wajah Ts’ai Lun seperti apa dalam pendar warna jingga.
Maka
kesempatan jalan-jalan ke pabrik kertas menjadi kegembiaraan tersendiri pagi
itu. PT Pindo Deli Pulp and Papers Mill di Karawang. Hampir 2 jam perjalanan lancar
dari Jakarta.
Rerimbunan
acacia crassicarpa tegak berdiri. Langsing,
ramping dan berjejer dengan indahnya. Ini adalah bahan baku utama untuk pembuatan kertas. Ada jenis yang lain. Mangium ataupun eucalyptus. Dan beruntungnya Indonesia dengan sinar mataharinya
yang berlimpah. Bahan baku ini bisa dipanen dalam waktu yang cepat, 5-6 tahun
saja. Negara dengan berbagai iklim dingin harus sabar menanti panenannya, bisa
15-20 tahun.
Tegakkan
pohon ini akan dicincang dan masuk ke dalam mesin, menjadi bubur. Dengan sentuhan
bahan-bahan kimia, jadilah kertas dengan berbagai kegunaan dan ukuran. “Kertas
kita tersertifikasi halal, dan aman digunakan,” ujar Jumali, dari Pindo Deli
yang menjelaskan siang itu.
Kantuk
yang semula datang kala penjelasan proses, menjadi hilang ketika musik jingkrak
hinggap di telinga. Cara cerdas perempuan berjilbab yang memandu kami siang itu,
menggantikan Jumali. Mata pun jadi nanar melihat video proses produksi kertas
diputar. Sesekali ditimpal suara perempuan berjilbab tadi.
“kita
akan tour melihat proses sebenarnya. Tapi
ada aturan tidak boleh memotret di area produksi. Semua proses dikendalikan
oleh sensor-sensor yang dipantau lewat computer,” jelasnya. Sensor yang sensitif
akan menolak kilatan cahaya yang tak semestinya. “Proses bisa terhenti karena
itu,” tambahnya.
Meski
pun begitu, legalah kami, ketika tetap ada kesempatan berfoto di dekat jumbo
roll kertas. Bukankah update status dan pamer foto dengan objek tak lazim tetap
harus dilakukan oleh kaum narsis seperti kami. Hehehheheh ……….
Bau
pabrik, selalu khas. Apapun produksinya. Beberapa akan mengatakan bau dolar. Beberapa
akan mengatakan bau karena panas yang menguar. Entahlah kenapa bau khas itu
yang saya suka. Di luar itu, melihat pabrik, laksana melihat Negara. Sangat tertata. Berjalanlah di sebelah kiri untuk
naik dan turun di sebelah kanan. Jalankan kendaraan 30 meter perjam. Tidak boleh
merokok. Harus berhelm. Memakai masker. Penutup telinga. Berjalan dalam line
kuning.
Tanpa
sadar kami sedang menata informasi dalam pikiran kami. Bahan baku kertas itu
dari Hutan Tanaman Industri dan bukan dari hutan alam. Kayu yang digunakan
diameternya kecil dan bukan log yang besar.
Saya juga sedang mengolah informasi dalam otak kecil ini,
bila industri pulp dan merupakan industri nasional yang sangat potensial, tentu
dia tidak boleh mati. Bayangkan, saat
ini Industri pulp nasional menempati peringkat ke-9 dunia dengan kapasitas
mesin terpasang 8 juta ton/tahun. Sementara
untuk industri kertas nasional menempati peringkat ke-6 dunia dgn kapasitas
mesin terpasang 13 juta ton/tahun.
Namun sayangnya, konsumsi per kapita kertas di Indonesia masih sangat rendah: 32,6 kg. Sementara USA 324 kg, Jepang 242 kg, dan Malaysia 106 kg. Bandingkan lagi konsumsi per karpita kertas negara lain: Belgia 295 kg, Kanada 250 kg, Singapura 180 kg. Saat ini kebutuhan kertas dunia sekitar 394 juta ton, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 490 juta ton pada tahun 2020. Demand kertas dunia tersebut potensi Indonesia untuk meningkatkan ekspor pulp & kertas dengan unggulnya sumber daya alam kita.
“Mbak, kenapa sih konsumsi kertas kita rendah? Bukankah budaya baca kita cukup baik?” tanya teman dudukku sore itu. Dan disinilah jebakan betmen itu mulai lagi, daya baca rendah, konsumsi kertas lemah. Ahhh…….
Saya harus segera kembali ke Jakarta. Berburu senja. Sambil menebak wajah Ts’ai Lun seperti apa dalam pendar warna jingga.
Emmy Kuswandari, 19 April 2016
Pic Note: Jaka Anindita, Eriko and friends