Selasa, 20 Maret 2018

Menjadi Ibu




Kami masih di kota yang sama.  Tapi kesempatan mungkin sembunyi di lubang sempit. Kami jarang jumpa jadinya. Padahal banyak moment harusnya kami bisa sua. Kadang kerepotan masing-masing dan fokus pada apa yang harus dikerjakan tak bisa membuat kami banyak bercakap.

Sore beberapa hari lalu adalah kebetulan. Berada di  tempat dan acara yang sama. Berdiri tanpa ada yang membatasi. Lalu mengalirkan kabar kami masing-masing. Kabar anak-anak tepatnya yang kini membanjiri  komunikasi kami.

Ternyata lama sekali kami tak intens berkomunikasi.   Mungkin sejak 2011.  Pada satu momen dia menemani masa tak menyenangkan yang harus aku lewati. Ciracas. Kamu tahulah apa yang harus kami selesaikan di sana.

Lalu mengalirlah  kabar duka tentang ibunya. Duka yang tak mudah ia lalui karena ada saudara yang harus dijaga dan diperhatikan seumur hidupnya. Ahhhhhhhhh.......banyak sekali kabar yang tak lagi aku tahu. Termasuk Tama kecil.

Tama, bayi mungilnya sudah  2 tahun kini. Lelaki kecil yang menjadi pusaran bahagianya. “Aku tidak mau meninggalkan dia lama-lama. Semua seakan tertuju pada dia,” ujarnya. Kalimat sederhana yang aku yakini dalam sekali maknanya. “Begini rasanya menjadi ibu,” lanjutnya. Aku yakin, ia mengucapkannya dengan amat sangat bahagia.

Kami tumbuh dewasa bersama rasanya. Menjadi ibu dengan perjalanannnya masing-masing. Perjalananku dan perjalanannya. Mungkin dulu  aku yang lebih banyak membutuhkan penguatan darinya. Sekuat apapun aku, tentu perlu diamnya orang lain untuk mendengarkan. Dannnnnn........aku tak pernah tahu kapan dia membutuhkan aku.

Sekelumit cerita sore itu membuat aku tahu. Kami bahagia dengan cara kami masing-masing. Sesederhana apapun pilihan hidup kami.

Terima kasih mbak Fransisca Ria Susanti. Ciumku untuk Tama.