Kamis, 06 Agustus 2009

Happy being a Single Parent


Tidak mudah menjadi orang tua tunggal. Terlebih kalau penyebab perpisahan sesuatu yang tidak kita duga atau tidak kita inginkan. Tatkala hati dan pikiran masih dirundung kemarahan, kesedihan dan kekalutan, di saat yang sama juga harus menyiapkan diri untuk tetap tegak berdiri dan melanjutkan kehidupan.

Saya tahu, dilema ini tidak mudah dilalui siapa pun yang menjadi orang tua tunggal, entah dia laki-laki atau perempuan. Tak sedikit yang terpuruk dan enggan untuk bangkit lagi. Tapi mentari harus terbit lagi bukan untuk menggantikan pekat malam?

Saya sadar, pasti ada ketakutan menghadapi masalah finansial, kebutuhan komunikasi, siapa yang akan membantu mengasuh anak, bagaimana mengatur waktu dan bertumpuk ketakutan lain terhadap peran baru ini. Persoalan akan sedikit lain, bila memang sejak awal seseorang berniat untuk menjadi orang tua tunggal.

Ada waktu memang untuk berkutat dengan ketakutan ini. Tetapi bukan tidak bisa diatasi. Meski ketakutan ini bukan sekedar imaji, tetapi membangun paradigma baru cara berpikir kita akan sangat membantu. Kita taruh ketakutan ini dalam keranjang kelemahan dan kita tutup di atasnya. Tak perlu keranjang ini dibuka lagi, karena hanya akan membuat kita larut di dalamnya atau mengutuki mengapa harus kita yang mendapat peran ini.

Ada kecenderungan, keluarga dengan orang tua tunggal biasanya akan terfokus pada kelemahan dan masalah yang dihadapi. Padahal sebenarnya, sebuah keluarga dengan orang tua tunggal tetap bisa menjadi keluarga yang efektif. Syaratnya hanya satu, tidak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya.

Dalam diri setiap orang, selalu ada kemampuan minimal untuk bertahan. Dari sinilah titik tolak itu dibangun. Menjadi orang tua tunggal bukan akhir dari dunia. Prinsipnya sederhana saja, hidup itu akan njimet kalau kita melihatnya dari kacamata yang ribet. Tetapi hidup itu indah dan mudah kalau kita melihatnya dari sudut ini. Sekarang tinggal pilihan kita, mau hidup yang mudah atau yang njimet?

Pertama yang harus kita niatkan adalah membangun komunikasi yang baik dengan anak. Tentu ada perasaan kehilangan pada anak karena ketidaklengkapan orangtuanya ini. Tetapi komunikasi yang intim dan intensif akan membantu anak mengatasi masalahnya. Termasuk menyiapkan anak memiliki emosi yang terkendali, tidak merasa tertekan karena tidak bisa menjelaskan kenapa hanya ada ibu atau ayah saja di keluarganya.

Penting pula untuk diingat, agar tetap memerlakukan anak dalam usianya. Jangan karena peran kita sebagai orang tua tunggal lalu kita mengarbitnya menjadi cepat dewasa,

Kedua, kalau memungkinkan memilih pekerjaan yang fleksibel, sehingga komunikasi intensif akan terjembatani. Meskipun di zaman sulit ini tidak leluasa buat kita untuk menentukan pekerjaan yang kita maui.
Catatan penting, Anda dan anak dapat menjadi tim yang hebat bila menganggap single parent bukan beban. Dari sinilah kekuatan-kekuatan itu dibangun. Jadi, berhentilah mengutuki diri sendiri, bangkit dan bangunlah kekuatan-kekuatan itu. Saya tahu, Anda pasti bisa.


(Emmy Kuswandari, Jakarta)

Tidak ada komentar: