Kamis, 13 Agustus 2009

Harapan


Panggung di Jakarta tidak pernah habis cerita. Panggung di sini adalah mall atau pusat perbelanjaan. Dalam gemerlap mandi cahaya, saya bisa menjadi siapa saja.

Di mall pula, sihir dilakukan. Rasionalitas dipojokjauhkan. Masih jelas tergambar ketika sale 70% sandal gambar buaya di Jakarta membuat orang rela antri berjam-jam untuk mendapatkannya. Berjan-jam! Meninggalkan pekerjaaan, meninggalkan anak dan urusan penting lainnya. Makan tidak makan yang penting dapat sandal gambar buaya.

Jadi ingat, dulu saya juga punya dogma yang sama: kalau sale dan tidak beli, rasanya dosa. Kapan lagi kalau bukan sekarang.

Saya belanja, maka saya ada – emo ergo sum. Cocok banget. Aku gitu lho, kalau tidak punya barang bermerk, apa kata dunia. Begitu kata di sudut diri kita.

Belanja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan pokok. Konsumerisme sudah mengubah dari konsumsi yang seperlunya menjadi konsumsi yang mengada-ada.

Motivasi belanja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan dasariah, tetapi sebagai pemenuhan identitas.

Manusia tidak lagi membeli barang dan jasa, tetapi merk. “Di dalam perusahaan kami membuat kosmetik, di dalam toko kami menjual harapan,” ujar Charles Parson, seorang CEO.

Jadi harapan itulah yang diburu. Berharap seperti seleb, berharap menjadi manusia kota kalau kita berhasil membeli merk. Harapan inilah imaji ideal kita. Mall menjual, kita membeli.

Konsumerisme menawarkan kesempatan dan pengalaman. Dan itulah yang kita beli. Tindakan membeli ini yang menimbulkan kepuasan dalam diri kita, tak laki tak perempuan.

Ah, Decartes pasti tertawa kalau melihatnya.


Emmy Kuswandari, Jakarta Agustus 2009

Di sela-sela training CRS Forum.