Kamis, 06 Agustus 2009

Kalau si Dia Melamar


Sudah hampir subuh saat ini. Mata belum juga terpejam. Kantuk mungkin lupa singgah. Heran saya, kata-kata ternyata mempunyai pengaruh juga terhadap kenikmatan saya memejamkan mata.

Gara-garanya sih sederhana. Minggu lalu, saya “dilamar” kawan kuliah dulu, yang sudah belasan tahun tidak bertemu. Dan kata-katanya masih terus terngiang di benak saya. “Aku mencari calon istri, tidak ingin senang-senang dan sendiri terus,” ujarnya. Singkat, tapi dalam maknanya buat saya.

Kalau cari calon istri (lagi) – teman saya sudah bercerai – kenapa harus lapor ke saya? Jangan-jangan yang dimaksud calon istri itu saya. Wajar tho, karena dia bicara dengan saya.

Untung saya usil. ”Jadi maumu, menikah dengan saya?” Dia hanya melihat di kedalaman mata saya. Dan pasti tidak akan menemukan apa-apa. Lha, mau menemukan apa? Kami sudah belasan tahun berpisah. Saya tidak tahu dia sudah menikah punya anak dan bercerai selama hampir lima tahun terakhir ini. Kalau tiba-tiba kami dipertemukan oleh Fesbuk, dan beberapa kali makan malam, tidak harus diakhiri dengan menerima ”lamaran” bukan?

Kalau mau jujur, ada sih dilema. Terima ndak ya ”lamaran” itu. Atau tetap keukeuh happy being single mom. Porsinya kayak timbangan jungkat ungkit itu, antara ya dan tidak.

Pap and mam, pasti masalah-masalah seperti ini bukan monopoli saya sendiri. Kalau nikah lagi, bagaimana dengan anak-anak nanti. Kalau tidak nikah, bagaimana pula dengan anak-anak. Buat diri sendiri saja ribet, harus mikir untuk anak-anak pula ya.

Katanya sih, wanita yang ditinggal meninggal dunia duluan oleh suaminya, cenderung tidak akan menikah lagi karena pertimbangan anak-anak dan sejuta kenangan indah yang sudah dilalui bersama. Juga dalam benak selalu hadir was-was jangan-jangan kalau menikah lagi khawatir tak dapat suami sebaik yang dulu.

Tapi kalau perpisahan terjadi karena cerai, lebih banyak yang akan segera mengikatkan diri dalam perkawinan berikutnya. Alasannya, menutup sejuta kenangan buruk yang pernah ada. Selain karena alasan finansial dan biologis. Atau khawatir kesepian di masa tua. Yang paling menjengkelkan yaitu menjauhkan iri dengki dan perasaan tak nyaman dengan status janda dari para tetangga.

Tapi di saat ini, kalau makin banyak single mam yang tetap ingin menyendiri mungkin karena pertimbangan tidak lagi tergantung dari faktor ekonomi, cukup percaya diri dan tak hirau dengan selentingan kanan kiri. Anda termasuk yang mana?

Buat saya, menerima lamaran untuk menikah lagi atau tidak, harus menyiapkan mental. Perkawinan tetap merupakan misteri, meski kita selalu meniatkan yang indah dan terbaik. Jadi, saya terima tidak ya lamarannya? Hehehhehehhehe, jawabannya tidak tergantung banyaknya SMS yang masuk lho.

Salam Minggu pagi

Emmy Kuswandari, Jakarta

Tidak ada komentar: