Kamis, 06 Agustus 2009

Makan is Fun, Baby


Cahaya kecil itu meronta dalam pelukan mamanya. Tangannya sibuk menepis sendok, sambil menyembunyikan mulut di ketiak ibunya. Kakinya pun turut memberontak. Ibunya pun tak kalah akal. Dipegangnya tangan dan dijepit di paha kaki kecil Cahaya agar tidak memberontak saat bubur bayi itu dimasukkan ke mulutnya. Selalu begitu setiap suapan dilakukan. Pemberontakan dan “adu otot” antara mama dan Cahaya. Padahal kalau bubur sudah sampai di mulut, dia akan tenang menelan, dibantu beberapa sendok air putih. Cahaya harus “dipithing” (bahasa Indonesianya apa ya? ) agar mamanya bisa menyuapinya.

Sering kali pemandangan ini yang saya lihat setiap mampir ke rumah Cahaya, gadis kecil yang nyaris 3 tahun itu. Dulu waktu masih baby, saya sih biasa-biasa aja melihat pemandangan ini, karena mungkin Cahaya belum terlalu kuat memberontak. Tapi dua tahun ke atas, rupanya “latihan otot” itu membuat dia lebih bertenaga memberontaki mamanya.

Sampai lepas ulang tahun kedua, Cahaya hanya mau makan bubur, entah bubur bayi atau blenderan dari bermacam-macam sayur dan daging. “Pokoknya apa aja asal, Cahaya mau makan,” ujar mamanya. Sang mama sudah pening sebetulnya dengan acara makan yang sangat merepotkan ini. “Kadang malu juga kalau ada teman datang dan lihat Cahaya harus makan dengan cara begini. Kasian anaknya pula,” ujarnya. Ia pun tak leluasa membawa Cahaya keluar rumah untuk acara makan-makan. Bolak-balik ke dokter spesialis juga tak banyak membantu.

Cahaya gadis yang aktif dan sangat pandai menirukan banyak hal. Belasan lagu sudah bisa dia nyanyikan sejak kecil dan juga doa-doa. Tubuh mungilnya pun gemulai menari. Dia bergerak sepanjang waktu. Tapi tak pernah sekalipun mau minta makan meski dia sangat lapar. Akibatnya, berat tubuhnya pun tak jauh bergarak dari batas minimal berat badan di usianya, bahkan kadang di bawah garis.

Makan is Fun

Suasana makan yang tidak menyenangkan ini membebani ibu dan anak tersebut. Makan jadi saat-saat yang tidak menyenangkan. Mungkin Cahaya berpikir, kalau bisa, gak usah makan deh, biar gak tersiksa. Sang mama pun harus putar otak, agar ada asupan yang masuk ke tubuh anaknya.

Rasanya tidak percuma saya berkawan dengan master Neuro Lingustic Programming (NLP) seperti Dokter Achmad Fadly Noor. Ketika saya cerita masalah ini, singkat saja komentarnya: biarkan anak makan apa saja yang dia suka. Orang tuanya yang harus diterapi bukan anaknya.

Intinya, orang tua tak perlu ada kekhawatiran anaknya harus makan ini itu seperti yang dimaui orang tuanya. Biarkan makan, apa saja yang dia suka. ”Dulu memang aku khawatir banget dia tidak mau makan. Jadi harus aku paksa makan, meski itu hanya bubur,” ujar Mama Cahaya.

Mama Cahaya meyakinkan dirinya, memasukkan banyak kata-kata positif bahwa dia senang anaknya tumbuh sehat dan makan hebat. Dia pun sering mengajak Cahaya untuk ngobrol-ngobrol soal makan yang menyenangkan. Proses yang alami dan sangat sederhana.

Hari-hari awal ketika proses itu terjadi, sang mama pun menghentikan asupan bubur. Cahaya pun hanya makan nasi sedikit saja. Cahaya makan sendiri, mengambil butiran nasi sedikit demi sedikit. Mama pun harus sabar untuk tidak memaksa anaknya makan nasi lebih banyak lagi. Hari-hari berikutnya, dia sudah makan nasi lebih banyak, plus lauknya. Kalau papa mamanya makan, Cahaya pun nimbrung.

Sebulan kami tak bertemu. Sampai suatu saat Cahaya mampir ke rumah. Tahu kalimat pertama yang dia sampaikan? ”Tante, Cahaya sudah gede, sudah tidak makan bubur lagi. Makan nasi pakai sambel Cahaya berani,” ujar Cahaya dengan senyum lebar dan jingkrak-jingkrak. Wahhh.....hebat. Dia bangga tidak dianggap bayi kecil lagi yang harus makan bubur dengan suasana tidak menyenangkan. Pipinya jadi gembul. Mama pun tersenyum bahagia. Dan lucunya, Cahaya pernah menghabiskan nasi dan lele hampir satu porsi orang dewasa.

Ilmu sederhana dan berguna banget bukan?


Emmy Kuswandari , Jakarta

Tidak ada komentar: