Selasa, 25 Agustus 2009

Titik Nol


Kamu menimbang berat badanmu pagi itu. Memastikan jarumnya mulai di angka nol. Bergeser sedikit saja, kamu akan menggerutu, karena timbangan tak tepat lagi katamu. Kau begitu setia dengan timbanganmu. Tepatnya dengan angka nol, sebelum kau injakkan kaki di sana.

Padahal, tak penting bagiku berapa berat badanmu. Kau yang selalu risau. Buatku, menawan itu tampak dari sorot matamu, ketika kau berucap ”Aku sayang kamu,” setiap menitnya. Mungkin melebihi anjuran minum obat dari dokter yang cukup tiga kali sehari. Menarik itu dari tutur dan sapaan hangatmu. Karena kamu bicara dari kedalaman hatimu.

Tapi, mengapa titik nol itu begitu penting bagimu?
Dan ternyata aku suka jawabanmu. ”Karena ia adalah awal,” katamu waktu itu. ”Seperti keluarga. Seperti rumah kita. Bagiku, di sini adalah awal dari segalanya.

Ya, di rumah ini memang awal bagiku dan kamu. Tempat aku menggali kembali energi terbaikku. Tempat lelah tertawarkan. Tempat penat tersembuhkan. Kamu memang cerewet dengan segala aturan rumah tangga. Barang ini harus di sini, barang itu tak boleh bergeser. Kadang aku merasa aturan itu mencekikku. Riuh di rumah kadang membuatku rindu kesendirianku.

Tapi ternyata, justru di kesendirian saat ini, aku sangat merindukan keriuhan itu. Di jidatku tak boleh kutuliskan ”Jangan ganggu aku”, karena memang kamu atau kalian di rumah itu bukan gangguan.

Tak seberapa penting angka setelah 1, 2, 3 dan seterusnya. Karena dari nol lah semua bermula. Terima kasih cinta, sudah mengingatkanku titik awal itu. Bukankah pantai akan kelihatan indah karena memang ada riak dan gelombang.


Saat-saat menuju ke fitri, Agustus 2009

Tidak ada komentar: