Kamis, 06 Agustus 2009

Tuhan, Buatkan Ayah untuk Aku ya


Benaeng tiba-tiba melipat tangan di depan dada. Dia berdoa. “Ya Tuhan, buatkan ayah untuk aku ya. Yang bisa antar aku ke sekolah. Yang ganteng ya Tuhan. Cepat buatkan ya Tuhan. Satu saja, untukku,” begitu pintanya. Raut mukanya serius. Tapi usai berdoa, dia tersenyum ke arah saya, lalu bertanya, “Bunda, kapan ya ayah selesai dibuat Tuhan?”

Kejadian itu dua bulan lalu, ketika kami habiskan liburan bersama. Dan hampir setiap hari dia menanyakan kapan ayahnya akan selesai dibuat Tuhan. Tidak mudah bagi saya untuk menjelaskan kenapa dia hanya memiliki bunda dan tidak memiliki ayah. Ayah, seperti dalam pintanya tentu bukan seperti adonan roti yang dibuat sekarang dan beberapa jam lagi akan mengembang.

Bukan sekali dua kali saya mendapatkan pertanyaan dari Benaeng yang sulit untuk saya jawab. Usia dua tahu dia sudah bertanya kenapa dia tidak punya ayah. Pertanyaan serupa diulang di tahun berikutnya. Pada umurnya yang keempat saat ini, dia membuat permohonan agar Tuhan membuatkan adonan ayah untuknya.

Kali lain dia minta dibuatkan adik bayi kecil. ”Kita ambil di rumah sakit saja Bunda, yang tidak diambil orang tuanya,” begitu ujarnya. “Nanti aku yang kasih susu dan suapin,” lanjutnya. Kalau Benaeng sekolah bagaimana? tanya saya. “Titip dulu ke pembantu, nanti pulang sama aku lagi,” lanjutnya.

Tidak mudah sebagai orang tua tunggal menghadapi keingintahuan anak, terlebih di saat-saat pembentukan kepribadian seperti saat ini. Tidak cukup saya diam atau menjawab dengan senyuman karena dia akan mengejar sampai dapat jawaban yang dia inginkan. Jawaban dalam bahasa sederhana yang dia pahami.

Tetapi satu hal, sejak perpisahan di awal pernikahan dulu, saya memang bertekad untuk mendidik dia dengan ketulusan, tanpa dendam dan memaafkan perpisahan itu. Tapi ternyata tiga kata itu tidak mudah saya jalankan. Butuh waktu untuk bergulat dengan kata maaf.

Kini, saya sadar, tiga kata itu seolah menjadi mantra bagi saya menjalani hari-hari yang menyenangkan dengan Benaeng. Dia menjadi anak yang sangat peduli, terlebih dengan bundanya. Tulus, tanpa dendam dan memaafkan justru menjauhkan saya dari energi negatif yang mungkin akan melingkupi saya dan akhirnya tak mampu berkomunikasi dengan baik bersama Benaeng.

Saya bergulat untuk mengolah energi negatif itu menjadi positif. Tak mudah memang. Dan perlu waktu. Tapi selalu ada keyakinan, berpikir positif akan memudahkan menyelesaikan berbagai masalah yang muncul.

(Emmy Kuswandari, Jakarta)

3 komentar:

Rumah Cahaya mengatakan...

emmy ,
perpisahan tanpa kita sadari 'melukai' mahluk kecil kita ....

emmy sebuah sayatan luka yg selalu ada kala buah hati kita bertanya seperti itu ....
dulu saya pernah marah pada Tuhan ,
yg telah mengambil ayah dr anak anakku , apalagi si kecil tidak pernah sempat bertemu dg nya...

saya dahulu selalu bisa meminjam ayah untuknya , meminjam istilah dr anakku ..
ayahku dipinjam utk anakku , adek ku , om ku sepupuku ..
tapi itu ta membuat sebuah harapan seorang anak pupus.....

semakin dewasa, aku ta bisa lagi meminjamkan ayah untuknya..... :((
dan aku tak pernah bisa membawa ayahnya kembali ke dekat kami , walaupun utnuk sejenak menyentuh nya..........
karena cacing-cacing tanah itu telah memakan habis tubuhnya :((

The Art Of Batak mengatakan...

Sangat menyentuh....
I like it !!

tantiamelia.com mengatakan...

... speechless...