Jumat, 21 Agustus 2009

Simbok


“Mbak, maaf kita tidak jadi ketemu. Aku mau pulang, ketemu simbokku,” suara di ujung telepon itu menjawab konfirmasiku untuk janji bertemu sore itu. Aku mengiyakan dan berjanji untuk ketemu usai akhir pekan nanti.

Kembali ke simbok, buat temanku adalah kembali kekehangatan. Kembali menjadi diri sendiri dan kembali menjadi yang selalu menakjudkan di mata sang ibu.

Seorang teman yang lain dengan bangga memajang foto mamaknya di fesbuk. Tulisnya: ”Ini mamak mertuaku. Datang dari ujung Kalimantan. Aku bangga memiliki mamak seperti dia. Sangat anggun.” Ia begitu bangga dengan mamak mertuanya. Mamak yang jauh dari polesan metropolis, tapi begitu anggun dan sophisticated, menurutnya.

Simbok, emak, mamak – panggilan jadul, tapi eksotis bagiku.

Jujur, sekali atau sesekali dalam paruh umur kita, pasti pernah merasa sangat terganggu dengan perhatian ibu. Tidak saya, tak juga Anda. Tapi kita. Ketidaknyamanan komunikasi dengan ibu, entah ibu kandung, ibu sambung atau ibu mertua.

Kebawelan ibu kadang membuat kita risi dan rasanya ingin pergi. Tak leluasa menentukan keputusan, tak bebas membuat pilihan. Terlebih dengan ibu yang powerfull, rasanya keputusan kita tidak ada artinya.

Saya sadar, komunikasi tidak selamanya mudah, meski itu dengan seorang ibu.

”kenapa ingin pulang ke simbok, Mbak?” tanyaku.
”Hanya dia yang selalu membuat aku menjadi seseorang yang istimewa. Apapun yang aku ceritakan, simbok akan menanggapi seolah-olah aku yang paling hebat di dunia. Respon simbok selalu sama, dari dulu,” ujar teman saya.

”Sampai saat ini, simbok selalu begitu,” ujarnya. ”Padahal aku tahu, yang aku lakukan hanya hal biasa saja, mungkin malah tidak ada artinya,” tambahnya.

Kawan lain menimpali: ”Hubunganku dengan ibu justru lebih baik ketika ibu sudah tiada.
Ibu memang sudah pergi. Tapi dia meninggalkan sejarah yang kami jalani hingga saat ini. Sebuah jangkar yang tidak dapat diambil oleh siapapun, lanjutnya.

Sementara buat aku: Ibu adalah perpustakaan pertamaku.


Saat malam panjang sendirian di Jakarta. Agustus 2009

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Em, Ibu/Simbok dalam sejarah hidupku kupanggil 'Mama' atau 'Ma'(tanpa diulang).

Satu suku kata saja sudah cukup, dan yakin didengarkan. Majalah Tempo untuk dibaca anak SD dua dekade silam juga idenya. Majalah dipinjam akhir pekan, dibawa ke rumah, dan dikembalikan pekan depannya ke perpustakaan sekolah. Beli majalah kan mahal! Mama bukan hanya perpustakaan, tapi mimpi hingga hari ini. Jadi kalau Bapa jadi angora DPR(D), dan Mama bilang ya 'beta cuma urus dapur (dpr)', katanya sambil tertawa.

Di ujung telpon, kukatakan 'Ma, jangan lihat siapa yang di depan tetapi selalu lihat siapa yang di belakang?' I do mean my words. Hingga ada di sini, tanpa bisikan mimpinya untuk terus belajar, kupikir 'horizon-ku' tentu bukan seperti saat ini. Kata-katanya lah yang berusaha kuterjemahkan dalam hidup. 'Keluarga kita butuh pejuang...' itu juga kalimatnya.

Dan kalau sudah lelah 'berjuang' dan mengadu, suara telfon di ujung sana cuma bilang, 'Orang harus kuat berdoa.'

Elcid Li
Kandidat Doktor Sosiologi di University of Birmingham (2006-),
Cleaning Service di University Hospital, Birmingham (2008-)
www.elcidli.wordpress.com

http://emmykuswandari.blogspot.com/ mengatakan...

Elcid di Birmingham, terima kasih ya.