Kamis, 06 Agustus 2009

Kencan lagi Yuk……


Berapa lama Anda, Pap and Mam, mengurung diri dalam sepi usai perpisahan? Sebulan? Setahun, dua tahun atau lebih dari itu?

Ada waktu memang bagi kita untuk ”berkabung.” Menolak soasialisasi, ngeles alasan macam-macam untuk undangan ngopi atau hang out. Bahkan mungkin hanya titip saja kalau ada acara arisan. Padahal dulu, setiap arisan datang, kita sudah heboh dengan berbagai persiapan. Tidak hadir lagi di club, padahal dulu itu hang out yang menyenangkan untuk recharce energi.

Saya butuh dua tiga tahun untuk menyendiri. Emosional dan suka nangis-nangis India. Menghindari berbagai kontak sosial dan memutus komunikasi dengan banyak teman. Rentang waktu yang membuat saya merasa tidak ada lagi yang indah dalam relationship laki-laki dan perempuan.

Sampai saya merasa, sendiri jauh lebih nyaman. Tak perlu berdebat kalau harus membuat keputusan. Mau ngopi, hayukk sendiri aja, mau baca buku seharian sampai bengkak di mata, tidak ada yang nglarang. Pokoknya bebas merdeka. Saya sampai berprinsip, kalau sendiri lebih happy kenapa harus berdua. Kalau sendiri lebih berkembang, kenapa harus berbagi dengan orang lain.

Sampai pada satu titik, saya merasa kok teman saya hanya buku ya. Kok kawan intim saya hanya koneksi internet ya. Lalu saya perhatikan, handphone saya sudah jarang dan makin jarang berdering. Sampai saya iseng-iseng SMS ke beberapa teman dan menunggu jawabannya dengan amat sangat. Padahal isinya cuma say hi saja. Dulu, HP tak pernah sepi dari SMS dan dering telpon.

Saya baru sadar, saya makin mengunci diri di ruang gelap. Keluar dari komunitas yang selama ini justru menyemangati saya. Benar-benar saya merasa tidak ada teman. Makan sendiri, belanja sendiri. Padahal saya masih ngantor. Teman-teman kantor tetap ada seperti biasanya. Tapi justru saya yang memisahkan diri, pelan-pelan pergi dari mereka.

Apa sampai tua saya harus mengutuki diri sendiri ini? Dengan alasan sedih, malu ketemu orang dan malas jawab pertanyaan yang pasti nanya kenapa jadi sendiri. Wah ndak deh pokoknya. Dari pada harus jawab yang ndak-ndak mending tidak ketemu saja.

Tapi sikap usil saya masih tetap ada. Paling tidak saya mengusili diri saya sendiri. ”Berani tidak kamu kencan lagi?” Jalan sama orang lain, kencan, ngopi atau berciuman. Dengan menohok saya bilang ke diri saya sendiri: “Berani gak sih loe pacaran lagi?”

Ternyata saya memilih tidak berani. Terlalu banyak mikir ini dan itu. Akhirnya sendiri dan sendiri lagi. Tapi mosok begini terus? ”Teman ngopi aja deh, please, sana kencan,” tantang diri saya. Wah harus mulai dari mana ya? Teman sudah tidak ada. Nyari di mana teman kencan. Gak ada ide sama sekali.

Tapi kok ya saya berhasil membuktikan tantangan diri saya ini. Kencan meski sangat hambar. Takut-takut sih awalnya. Dan sangat curiga, ini lelaki jenis apa ya? Maaf kalau saya jadi jahat mikirnya.

Mungkin pembuktian ini perlu saya lakukan. Tantangan ke diri saya ini perlu saya jalani. Keluar dari zona yang seolah membuat saya nyaman dalam kesendirian. Membuat langkah ekstrim untuk memulai hidup sosial kembali. Mungkin Anda tidak perlu seperti itu.

Intinya saya hanya ingin bilang hidup bersosial itu ternyata sangat perlu. Tidak harus berkencan, punya pacar atau menikah lagi. Tetapi menjaga silaturahmi pertemanan akan membantu kita as single pap and mam merasa kuat lagi. Buat saya: berteman itu membantu menyeimbangkan ”kewarasan” saya.

Mikir kencan mulu, bagaimana dengan anak? Pak Bu, di luar semua tugas domestik kita, toh kita perlu kehidupan pribadi pula kan? Bukan soal melupakan anak kalau kita berkomunitas atau berkencan.

Apakah ketika menjalin relasi dengan lawan jenis apakah harus segera mengintegrasikan antara cinta dan keluarga? Mungkin tak perlu buru-buru mengenalkan anak pada kekasih kita. Kalau pada komunitas sosial kita sih, ok saja.

Eh, menurut Pap Mam harusnya bagaimana sih? Sharing yukkk.......


Emmy Kuswandari, Jakarta

Tidak ada komentar: